PRAKSIS PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 4 Juli 2003) Salah satu isu utama yang mencuat di seputar kontroversi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional baru-baru ini adalah masalah pendidikan agama di sekolah. Ada sejumlah tokoh yang berpendapat bahwa keberagamaan, sebagai urusan privat, sebaiknya menjadi wilayah garap keluarga dan masyarakat saja. Undang-undang tidak perlu mengaturnya agar negara tidak mengintervensi wilayah privat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sekolah umum tidak perlu melakukan pengajaran agama karena masalah keimanan dan ketakwaaan merupakan wilayah ajar keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini penulis berpandangan lain: semakin banyak pihak yang peduli dan mengupayakan pembentukan manusia Indonesia menjadi religius -- beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur -- semakin baiklah adanya. Menurut penulis, negara, dalam kasus ini tidaklah masuk ke urusan privat melainkan ke urusan sosial, yakni sebatas menjagai tegaknya social fairness dalam pelaksanaan pengajaran agama di sekolah, demi keharmonisan kehidupan bersama antar umat beragama. Kalau siswa diajar agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh guru yang seagama (inilah yang diatur oleh negara melalui Undang-Undang tersebut), kiranya rasa keadilan masyarakat tidak perlu terusik. Lagi pula, dengan cara demikian sekolah-sekolah swasta bermisi keagamaan akan lebih terdorong untuk melakukan "promosi" agama tidak secara vulgar di kelas dengan mengajarkan suatu agama pada siswa beragama lain, melainkan melalui cara-cara yang cantik dan elegan yakni melalui kecemerlangan budi-pekerti agamis yang ditampilkan oleh penganutnya atau oleh budaya sekolahnya. Mengingat pentingnya pembangunan karakter siswa (baca: karakter bangsa), meskipun pendidikan agama sudah dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, akan lebih baik kalau juga dilakukan sekolah. Yang menjadi masalah adalah praksis pendidikan agama seperti apakah yang dikerjakan sekolah-sekolah kita selama ini. Masih sangat mengecewakannya perilaku moral siswa, juga masih sering terjadinya ketegangan dan keretakan sosial bernuansa agama (seperti yang berlangsung di seputar masalah UU-Sisdiknas) serta maraknya fenomena kemerosotan moral masyarakat, menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam praksis pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama di sekolah masih jauh dari signifikansi peranannya dalam membangun moral bangsa. Pendidikan agama yang menekankan kebenaran mutlak agama sendiri sembari memandang agama lain sebagai salah dan sesat, pastilah membawa siswa pada sikap dan perilaku melecehkan agama lain, intoleran, bahkan potensial memusuhi penganut agama lain. Konflik dan perang atas nama agama, dasar religiusnya adalah sikap ini. Demikian pula pengajaran agama yang terlampau sibuk menekankan ritualisme dan orientasi serba keakhiratan -- kurang mengaitkan keberagamaan dengan perilaku kongkrit duniawi -- potensial membawa siswa pada sikap dan perilaku hidup terbelah Orang dengan sikap ini akan sangat mementingkan kesalehan pribadi (dan biasanya sinis terhadap orang lain yang kurang ritualis), sementara kehidupan sosialnya -- dalam bekerja, berbisnis, berpolitik, berkuasa, dan lain-lain -- berlepotan dengan tindak keculasan, kedengkian, kepalsuan, penyalah-gunaan wewenang, korupsi, dan sebagainya. Dan akhirnya, pendidikan agama yang terlampau menekankan aspek kognitif atau intelektual (terutama hafalan) dan tidak menekankan pembentukan jiwa religius pada siswa, akan mendorong siswa memperlakukan pelajaran agama sebatas untuk keperluan menghadapi ulangan atau ujian, bukan untuk membangun kepribadian. ** Mengacu pada Charles Y Glock & Rodney Stark (Religion & Society, 1966), keberagamaan (religious commitment) memiliki lima dimensi. Kesatu, dimensi intelektual (religious knowledge), menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran-ajaran agamanya. Kedua, dimensi ritualistik (religious practice), menyangkut tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agamanya. Ketiga, dimensi ideologis (religious belief) menyangkut tingkat keyakinan seseorang mengenai kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental atau dogmatik. Keempat, dimensi eksperiensial (religious feeling), menyangkut tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius seseorang. Kelima, dimensi konsekuensial (religious effect), menyangkut seberapa kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atas perilaku-perilaku duniawinya. Urutan seperti yang tertulis tadi, menurut pengamatan penulis juga merupakan urutan penekanan dalam praksis pengajaran/pendidikan dimensi-dimensi keberagamaan di sekolah selama ini. Penelitian yang pernah dilakukan penulis menunjukkan bahwa pengaruh masing-masing dimensi keberagamaan dalam memunculkan perilaku-perilaku positif kepada sesama manusia atau pro-sosial (pro-social behavior) -- berbagi, bekerja-sama, menyumbang, menolong, berlaku jujur, berbuat dermawan, memelihara, merawat, dan memperhatikan hak serta kesejahteraan orang lain -- urutan kekuatan pengaruhnya terbalik dari yang tertulis di atas. Oleh karena itu, jika kita ingin pendidikan agama di sekolah benar-benar fungsional dan kontekstual dengan masalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini, aspek-aspek pendidikan agama di sekolah haruslah dengan urutan skala prioritas dan garapan materi pendidikan seperti berikut ini. Pertama, pendidikan agama sebaiknya mengutamakan dimensi konsekuensial keberagamaan. Ajaklah dan latihlah siswa untuk mempraktikkan suruhan-suruhan atau nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata duniawi, seperti menjaga kebersihan, bertindak jujur dalam ujian, tolong-menolong untuk kebaikan, menghargai orang lain (termasuk yang lain agama), dan lain-lain -- sebagai bagian dari ekspresi iman mereka. Latihlah siswa menyisihkan uang jajan untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Ajaklah siswa mengunjungi penganut agama lain dan buatlah kegiatan-bersama untuk membangun sikap penghargaan, toleransi, dan kerjasama antar umat beragama. Ajarkan bahwa agama adalah rahmat bagi kehidupan bersama. Agama harus menjadi faktor perekat, bukan faktor disintegratif; faktor solusi, bukan faktor masalah. Sebab, semua agama mendambakan kehidupan umat manusia yang damai, sejahtera, dan berkualitas. Siswa penting disadarkan bahwa keberagamaan haruslah membuahkan perilaku hidup baik. Tanpa itu, betapapun "rimbunnya" tampilan keberagamaan seseorang, itu bagaikan kerimbunan ilalang belaka. Kedua, dimensi eksperiensial digarap dengan upaya-upaya menghadirkan Tuhan dalam kesadaran siswa di setiap saat: dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan, dan kecanggihan alam semesta ciptaan Tuhan, serta dalam aktivitas keseharian siswa. Dengan begitu, Tuhan tidak hanya dihadirkan pada momen-momen eksklusif ritual saja, melainkan terus menerus dalam setiap langkah kehidupan. Ketiga, pengolahan dimensi ideologis dilakukan dengan tetap mengedepankan perlunya sikap kerendahan hati dan kelapangan jiwa. Peyakinan pada kebenaran agama yang dianut siswa tidak boleh menghasilkan fanatisme sempit, arogansi religius, kelumpuhan akal, dan sikap anti-dialog. Perlu disadarkan pada siswa bahwa Tuhan adalah Tuhan alam semesta. Tuhan "berbicara" tidak melulu pada kelompok agama tertentu saja, namun pada semua umat manusia. Kebenaran Ilahi terserak di mana-mana. Tanpa kesadaran ini orang mudah tergoda untuk melakukan rekruitmen penganut agama lain dengan dalih penyelamatan yang berakibat keretakan sosial. Keempat, pengajaran dan pelatihan tata-cara ritus-ritus agama haruslah dilakukan sambil menekankan penyadaran siswa bahwa ritualitas lebih merupakan upaya peneguhan komitmen keber-Tuhanan seseorang, penjernihan rohani, dan penghadiran Tuhan dalam jiwa, sehingga efektivitasnya haruslah berupa perilaku hidup baik. Ritualisme tanpa perilaku hidup baik adalah kebohongan dalam beragama. Kelima, pengajaran dimensi intelektual di samping menyangkut hal-hal seputar sejarah keagamaan, isi Kitab Suci, dan semacamnya, penting pula mengetengahkan diskursus tentang bagaimana nilai-nilai luhur agamawi dapat diejawantahkan dalam praksis kehidupan nyata di alam sosial Indonesia masa kini dan juga antisipatif terhadap masa depan. Dengan demikian, intelektualisme keagamaan menjadi kontekstual dengan situasi zaman. ** Di era otonomi sekolah dewasa ini, bukan pemerintah, melainkan stake holders sekolah (komite sekolah, kepala sekolah, guru, orangtua siswa) yang berhak menentukan konsep praksis pendidikan agama. Penulis mengusulkan sketsa konsepsi sebagaimana terurai di atas. Namun perlu diperhatikan, betapapun bagusnya suatu konsep, dalam pelaksanaannya semua itu akan tumpul jika guru agama sebagai ujung tombak di lapangan tidak memiliki kualitas spiritual, emosional, maupun intelektual yang memadai. Mengingat peran kependidikannya yang luar biasa strategis, mestinya penyiapan dan penghargaan terhadap guru-guru agama dilakukan dengan daya dan dana yang istimewa, tidak "ala kadarnya" seperti yang terjadi selama ini. Begitupun, tanpa dibarengi pembiasaan atau pembudayaan nilai-nilai luhur agamawi -- kejujuran, kerendahan hati, ketulusan, kasih sayang, tanggung-jawab, dan sebagainya -- dalam perilaku individual seluruh sivitas akademika maupun institusional sekolah, maka guru agama "superman" sekalipun akan terseok-seok memikul beban berat itu sendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

<$BlogItemCreate$>