MENGABDI ITU MEMBERI, BUKAN BEREBUT KEKUASAAN Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 6 Mei 2004) Belajar dari pengalaman agaknya merupakan hal yang teramat sulit bagi para politisi kita. Bukan apa-apa, karena yang harus ditaklukkan adalah diri sendiri. Diri yang ambisius, yang ingin selalu tampil, ingin selalu menang (sehingga lupa bahwa berpolitik adalah kegiatan mulia, yakni perjuangan memenangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan apalagi kepentingan diri sendiri), itulah yang harus ditaklukkan. Dan itu sama sekali bukan sesuatu yang mudah bagi kualitas jiwa kenegarawanan yang masih rendah. Pemilu legislatif yang baru saja berlalu menunjukkan betapa sejumlah partai baru yang mengusung semangat idealisme dan konsep-konsep perubahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, jeblok dalam perolehan suara. Para tokoh pendirinya -- untuk menyebut beberapa diantaranya: Ryaas Rasyid, Andi A Mallarangeng, Sjahrir, Adi Sasono, dan Eros Djarot -- mengatakan bahwa pendirian partai-partai itu semata didorong oleh niat untuk melakukan perubahan dan karena partai-partai yang ada dinilai tidak dapat diharapkan mampu memotori perubahan. Suatu hal yang bagus. Hanya saja, mengapa tokoh-tokoh yang dikenal masyarakat sebagai cerdas dan penuh idealisme itu, yang sama-sama menyatakan ingin melakukan perubahan, kok tidak sanggup menyatukan diri untuk bekerjasama? Ryaas Rasyid dan Andi A Mallarangeng mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK). Sjahrir mendirikan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB). Adi Sasono mendirikan Partai Merdeka. Eros Djarot mendirikan Partai nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Mereka saling bersaing, berebut suara, bukan bersinergi. Dan hasilnya, semua kalah. Mereka tidak belajar dari pengalaman pemilu tahun 1999. Waktu itu, akibat dari tidak terkonsolidasinya elemen-elemen pembaharu pasca pemerintahan Orde Baru (tercermin dari ratusan partai politik baru yang didirikan dan betapa banyaknya partai peserta pemilu, yaitu 48!), maka tidak aneh yang memenangi pemilu itu adalah partai-partai dari kekuatan lama, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di nomor satu dan Partai Golkar di nomor dua. Pada pemilu legislatif tahun 2004 ini, pemenangnya masih kedua partai itu, hanya ganti posisi urutan (Partai Golkar memperoleh sekitar 21% suara, dan PDI-P sekitar 19%). Tentang kedua partai itu sudah kita ketahui kinerja dan sepak terjangnya di panggung kekuasaan Republik ini. Partai Golkar sebagai mesin politik raksasa telah memimpin Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dengan segala peranannya atas terjadinya kerontokan sendi-sendi moral kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berujung pada krisis multi-dimensional. Kendati partai ini sudah menyatakan "Golkar dengan paradigma baru!", namun kita tahu bahwa mengubah struktur, kultur, dan mentalitas organisasi sebesar dan setua Golkar bukan sesuatu yang mudah. Mengenai PDI-P, kinerjanya selama berkuasa di pemerintahan dan di legislatif, pusat maupun daerah, sudah terbukti mengecewakan masyarakat. Hal ini antara lain tampak dari merosotnya dukungan masyarakat di bilik suara 5 April lalu. Jadi jelaslah, untuk lebih dimungkinkannya perubahan di tengah konstelasi politik yang ada, kita perlu membangun kekuatan politik alternatif yang mampu berkompetisi dengan kedua partai tersebut. Namun, yang kita lihat sekarang, dalam menghadapi pemilu presiden pada 5 Juli mendatang, sikap dan perilaku para politisi yang mengaku reformis dan konon menginginkan perubahan demi penyelamatan bangsa, masih sama saja. Mereka belum sanggup untuk bersikap tulus mengedepankan kepentingan bangsa. Dari kalangan mereka, begitu banyak yang ingin maju untuk berebut suara dalam pemilihan presiden. Jelaslah, dengan cara begitu kemungkinan berhasil mengecil. Padahal, kalau mereka mau bersatu, berkoalisi sehat untuk menyusun common platform dan memunculkan satu calon presiden (capres) beserta calon wakil presidennya (cawapres) untuk memenangi pemilu presiden, kekuatan mereka jelas luar biasa besar. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhasil mencitrakan diri sebagai partai yang bersih dan peduli, memperoleh sekitar 7% suara. Partai Demokrat sebagai partai baru yang sama sekali tidak dikenal masyarakat menyangkut platform partai maupun siapa jajaran pimpinannya (tetapi mengusung tokoh yang luar biasa mengesankan track record dan penampilan politiknya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono sebagai capres), memperoleh suara sangat mengejutkan, yaitu sekitar 7,5%. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) cukup besar perolehan suaranya, yaitu sekitar 12%. Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh 6,5%. Kalau semua itu bergabung, jelas sangat signifikan sebagai kekuatan politik. Apalagi jika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memperoleh sekitar 8% suara juga mau bergabung di kelompok alternatif ini, dan tidak sekedar berpikir bagaimana agar Ketua Umumnya bisa menjadi wapres. Dilengkapi dengan dukungan partai-partai reformis kecil lainnya maka koalisi besar (yang tetap mengedepankan nilai, dan bukan semata bagi-bagi kekuasaan) ini setidak-tidaknya di atas kertas bakal memenangi pemilu presiden dengan segenap platform dan program-program utama yang diusungnya. Kalau benar kepentingan bangsa (boleh dibaca: kepentingan reformasi) yang akan dimenangkan dan bukan kepentingan egoisme pribadi, partai, maupun kelompok sosial tertentu, mestinya para capres dari kelompok yang mengklaim menghendaki perubahan itu sanggup bersikap ikhlas untuk mendukung salah seorang kader terbaik bangsa ini untuk maju berkompetisi dengan capres-capres dari Golkar dan PDI-P. Untuk itu, mereka masing-masing dituntut kedewasaannya dalam menilai dan mengukur diri secara jujur dan objektif, dalam bandingannya dengan tokoh lain. Jika introspeksi dan ekstrospeksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa bukan dirinya melainkan tokoh lain yang lebih tepat memimpin bangsa ini lima tahun ke depan, maka di samping ia harus sanggup bersikap arif untuk mengurungkan niatnya menjadi capres, ia juga ditantang kualitas kepemimpinannya untuk sanggup menjelaskan pilihan sikapnya itu pada kelompok pendukungnya, demi pendewasaan. Artinya, para pendukungnya harus dicoba-pengaruhi untuk bersikap mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan emosional-kelompok. Di tengah-tengah kultur masyarakat kita yang masih paternalistik-primordialistik, sikap masyarakat pemilih sebagian besar masih belum rasional-mandiri melainkan masih sangat dipengaruhi oleh para pemimpinnya. Benar, di bilik suara nanti rakyatlah yang berkuasa. Pemimpin hanya berusaha mempengaruhi secara demokratis sebelumnya. *** Tantangan moral ini ditujukan kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menghendaki perubahan. Berpikir jernihlah dan berkomunikasilah untuk bekerja sama, memunculkan satu tokoh yang terbaik sebagai capres (beserta cawapresnya), demi kepentingan bangsa. Ungkapan-ungkapan yang sering dilontarkan ke publik oleh tokoh-tokoh tertentu, seperti "penyelamatan bangsa", "berpolitik sebagai ibadah" dan semacamnya janganlah sekedar dijadikan political gimmick atau sekedar taktik untuk meraih simpati dan dukungan. Penyelamatan bangsa, pengabdian atau ibadah meminta konsistensi sikap, yakni sikap memberi yang terbaik kepada bangsa, bukan berebut kekuasaan yang berakibat berlanjutnya kesengsaraan bangsa! Menjelang pemilu presiden sebentar lagi, kita harus benar-benar menginsyafi situasi dan kondisi Indonesia masa kini. Bangsa dan negara kita sedang didera oleh macam-macam krisis yang luar biasa serius. Angka pengangguran dan kemiskinan membubung tinggi. Mutu pendidikan terpuruk. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Penegakan hukum loyo. Keculasan menjadi perilaku keseharian masyarakat-bangsa, baik dalam berbudaya, berekonomi, berpolitik, berpemerintahan, dan bernegara. Keretakan sosial dan disintegrasi bangsa masih menjadi ancaman nyata. Di tengah-tengah deraan masalah seperti itu, akrobat-akrobat politik dan unjuk retorika demi ambisi pribadi dan kelompok sempit sungguh terasa tidak bermoral. Sudah sangat jelas, bahwa sekarang bangsa ini membutuhkan presiden yang kuat, tegas, dan berani menegakkan kebenaran, apapun risikonya, dengan diri sendiri sebagai teladan. Ia harus cerdas, visioner, teruji dalam kepemimpinan, jujur, dan bersungguh-sungguh ingin membaktikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara. Ia juga harus memiliki emosi yang terkontrol-matang dan sanggup membangkitkan semangat dan kepercayaan diri bangsa lewat komunikasi politiknya yang jernih, jelas, santun, menggugah, dan berwibawa. Kemudian, yang juga sangat penting, ia harus menjadi pemimpin yang konsisten, digerakkan dan dikendalikan oleh prinsip-prinsip yang benar, bukan yang terkesan mencla-mencle dalam menyikapi perubahan arah angin politik. Masalahnya, adakah tokoh yang memenuhi tuntutan kualitas seperti itu? Yang sempurna tentu tidak ada, tapi yang relatif mendekatinya agaknya sudah tampak ada. Ia juga memiliki kans cukup besar untuk dipilih rakyat. Tinggallah soal, apakah para politisi kelompok pro-reformasi kita mau mengakuinya dan bersemangat mendukungnya atau tidak. Kalau mau, maka sekaranglah saatnya kaum reformis untuk bersatu, membuktikan ketulusannya, dan berjuang memenangkan kepentingan bangsa! Sekaranglah moment of the truth itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

<$BlogItemCreate$>