KOPERASI DI TENGAH KAPITALISME: ETOS KERJA KITA TERUTAMA ETOS MENANAM

Oleh: Audith M Turmudhi (Dimuat di Majalah Berita Bulanan Koperasi Mahasiswa UGM “PILAR”, No. I Th. I, 1984)

Di dalam masyarakat kita sedang berlangsung suatu proses pengejaran terhadap gambaran manusia dan gaya hidup sukses yang dipompakan melalui iklan-iklan, film-film, majalah-majalah dan berbagai contoh perilaku yang bisa disaksikan langsung. Yang dikejar ternyata suatu gambaran manusia sukses yang bersifat materialistik, yakni manusia yang lebih menjunjung nilai-nilai materi tinimbang nilai-nilai rohani, yang lebih memburu prestasi kuantitatif dan bukannya kualitatif, yang mempraktekkan cara bereksistensi – seperti yang dikatakan Erich Fromm – mementingkan to have-nya dan bukannya to be-nya.

Itu berlangsung di kota-kota maupun di desa-desa. Bagi kelompok masyarakat yang miskin dan nampaknya tak bisa keluar dari lingkaran kemiskinannya, tentu saja pengejaran dan sekaligus pameran kesuksesan itu hanya bisa menimbulkan perasaan rendah diri, perasaan gagal dan bahkan mungkin sakit hati. Sungguh memprihatinkan kalau sukses terutama diukur dari “berapa gajimu”, “seperti apa rumahmu”, “apa merek mobilmu”, “apa ijazahmu”, “apa jabatanmu”, dan seterusnya. Tidak aneh kalau lantas terjadi inflasi besar-besaran atas nilai-nilai pengabdian, kesetiaan, dan perjuangan untuk pencapaian kualitas kemanusiaan yang sesungguhnya.

Demikianlah, berbareng dengan semakin gencarnya perlombaan perolehan dan pameran havings itu, kentara pula semakin menguatnya sikap hidup individualistik-egoistik, hipokrisi, pengejaran semata ambisi-ambisi pribadi, pola hubungan kontraktual (serba upah), dan bahkan penghalalan segala cara dalam mencapai tujuan. Moralitas dan kepekaan tanggung jawab sosial makin merosot.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, menarik kita amati setting perekonomian nasional kita. Saat ini, kita lihat ada dualisme dalam sistem perekonomian kita, yakni sistem kapitalis di sektor modern dan sistem feodal di sektor tradisional. Kita lihat juga ditempuhnya strategi pembangunan ekonomi bentuk gabungan. Namun, kiranya jelas bahwa yang dominan sedang berlangsung adalah sebuah sistem perekonomian kapitalistik, yakni sistem perekonomian yang lebih berorientasi pada produsen, kekuatan modal, dan bukannya pada kebutuhan riil rakyat banyak.

Kebijaksanaan Pintu Terbuka

Kalau kita tengok sejarah, kapitalisme memang sudah cukup lama bercokol di tengkuk perekonomian kita. Setidak-tidaknya sejak sekitar seratus tahun yang lalu harta kekayaan rakyat Indonesia mulai diperhitungkan dalam pasaran internasional. Mulailah Indonesia waktu itu menjadi sub-sistem dari sistem pasar dunia. Kultur stelsel atau sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintahan van den Bosch adalah realisasi dari suatu strategi pembangunan gaya kapitalistik yang berorientasi pada pasaran internasional.1) Bahkan, bisa dikatakan bahwa sudah sejak dua-tiga abad yang lalu, dengan datangnya bangsa Eropa, khususnya bangsa Belanda ke Indonesia, mulailah perkenalan kita dengan sistem kapitalisme itu.

Sejak itu, dampak negatif kapitalisme di negara kita mulai tercatat. Antara lain terjadi pengaliran keuntungan ke luar negeri. Terjadi suatu proses yang dinamakan disarticulated economy.2) Hanya segelintir pribumi yang bisa menikmati dan kena cipratan kelimpahan ekonomi. Tapi yang lebih mencekam lagi adalah mencermati terjadinya dampak negatif kapitalisme itu terhadap mentalitas masyarakat.3) Misalnya, dalam perekonomian keluarga, kelebihan uang belanja lebih suka dipakai untuk belanja konsumsi daripada ditabung. Belanja barang sering berlebihan dan kurang mengindahkan efisiensi pemakaiannya, boros dan serba mumpung. Lebih dari itu mental buruk ternyata merembet menjadi sikap hidup terlalu bergantung pada atasan, paternalistik, kuat meniru dan berlaku seperti atasan. Sebaliknya terhadap bawahan bersikap tidak ambil peduli, menganggap remeh dan sepele. Tumbuh subur sikap hidup yang kurang menghargai kerja dan karya tetapi lebih mengagungkan prestise dan kehormatan diri yang lekat dengan ciri-ciri hidup priyayi. Prestise lebih dipentingkan daripada prestasi. Berkembang di tengah masyarakat semacam “kebudayaan mestizo” yang dibangun oleh petugas pemerintah kolonial yang suka pada kemewahan dan juga oleh para pengusaha kaya. Pola hidup mewah ini kemudian sangat menarik perhatian masyarakat, terutama para bangsawan, pegawai gubernemen, karyawan perusahaan, dan golongan terpelajar. Banyak orang yang memimpikan rumah dengan halaman luas, bersantai-ria, berburu, menghisap cerutu, minum-minuman keras, berkendaraan dan berpakaian perlente -- impian-impian mewah di tengah kenyataan hamparan rakyat melarat.

Dalam perjalanan sejarah berikutnya, di masa pasca kemerdekaan, salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah diberlakukannya kebijaksanaan ekonomi “pintu terbuka” oleh pemerintah Orde Baru. Didesak oleh situasi ekonomi yang parah (antara lain akibat dari petualangan politik Orde Lama) pemerintah Orde Baru mengambil “jalan pintas” membuat keputusan di bidang ekonomi secara pragmatik dan sektoral. Kalau Orde Lama – setidak-tidaknya secara resmi – menutup pintu bagi modal asing, Orde Baru sebaliknya membuka pintu lebar bagi mereka. Tahun 1967 dikeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing, yang antara lain juga berisi izin mendirikan siaran radio non-pemerintah (sebagai salah satu alat efektif untuk melancarkan iklan produk-produk perusahaan). Tentu saja perusahaan-perusahaan asing sangat girang menyambut saat yang sudah lama dinanti-nanti untuk bisa beroperasi di Indonesia yang kaya sumber-sumber alam dan tenaga kerjanya. Begitulah, Indonesia di mata MNC (Multi National Corperation) menjadi surga investasi.4)

Tidak mengherankan, kemajuan ekonomi selama Orde Baru mengundang datangnya ahli-ahli periklanan dari luar negeri. Asian Survey (1980) dalam laporannya yang berjudul “Transnational Advertising and Politics: The Case of Indonesia5), menyebutkan bahwa tujuh dari perusahaan-perusahaan periklanan transnasional yang beroperasi di Indonesia adalah termasuk dalam empat puluh lima perusahaan periklanan terbesar di dunia, dilihat dari pendapatan maupun banyaknya order. Bahkan lebih seru lagi, dari sepuluh perusahaan periklanan yang mempunyai pendapatan terbesar di dunia, lima diantaranya bekerja di Indonesia, yaitu Dentsu, Mc Cann Erickson, Ogilney & Mather, SSC & B-Lintas dan Hakuhado. Dua yang lain adalah Dencer Fitzgerald-Sample (mempunyai sedikit hubungan dengan Fortune Australia-Indonesia, dan Chuo Senko yang bergabung dengan Kikmad & Chusen.

Memompa Impian-Impian Materialistik

Kita mafhum bahwa periklanan eksesif adalah bagian integral dari sistem perekonomian kapitalistik. Tentu, iklan teramat penting untuk perluasan pasar, untuk bisa menggenjot penjualan produk-produk perusahaan. Lagi pula, seperti dikemukakan oleh Schumpeter, pengusaha bukanlan orang yang sekedar pandai memproduksi barang-barang akan tetapi juga pandai menciptakan kebutuhan-kebutuhan (felt needs), lihai memompakan impian-impian materialistik untuk menimbulkan rising demand. Sebagai akibatnya tak mengherankan jika muncul masalah konsumerisme, yaitu dorongan yang terus meningkat secara eksesif untuk melakukan konsumsi. Mula-mula, tentu, mengkonsumsi barang-barang kebutuhan pokok, kemudian kepada yang kurang pokok, dan akhirnya barang-barang lux. Itu berlangsung secara patologik, sehingga kemudian berkembang biak menjadi berbagai penyakit sosial seperti yang sudah disebutkan di muka.

Kaitan antara kapitalisme dengan berbagai penyakit sosial memang erat. Adam Smith6), peletak dasar konsep kapitalisme, dalam bukunya “The Wealth of Nations” (1776), menyebutkan bahwa keserakahan individual tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Jangan coba-coba berbuat baik, kata Smith, biarkan kebaikan itu muncul sebagai hasil sampingan dari nafsu mementingkan diri sendiri. Bahkan dalam bukunya yang lain, “Theory of Moral Sentiments”, Smith berterus terang mengatakan: “Bagi kebanyakan orang kaya, puncak kegembiraan kekayaan adalah pameran kekayaan itu sendiri yang menurut pandangan mereka belum sempurna bila mereka belum memiliki simbol-simbol kemewahan yang tidak dapat dimiliki orang lain”.

Sekedar pengukuh penglihatan kita, kita angkat juga beberapa pendapat para ahli. Prof. Dr. Harsya W Bachtiar, Dr. Soerjono Soekanto, MA dan Dr. Munandar menyimpulkan bahwa masyarakat kita sudah kejangkitan hedonisme alias pemburu kenikmatan sensual.7) Dick Hartoko dalam “Tanda-tanda Zaman”8) menulis bahwa masyarakat kita menempatkan faktor material di atas segala-galanya, sehingga terjadi perlombaan memperoleh banyak uang. Lebih-lebih lagi hal ini dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam masyarakat, maka sukarlah bagi orang untuk melawan arus. Bahkan baru-baru ini, Ketua BP7 Pusat, (Letjen pur.) Sarwo Edie Wibowo secara keras mengecam mereka yang memperoleh keberuntungan kemakmuran berlebih, yang suka memamerkan gaya hidup konsumtif, boros dan bermewah-mewah. Hal itu, katanya, menimbulkan jurang pemisah antara yang berpunya dan yang tidak berpunya, dan menimbulkan lingkungan sosial yang tidak serasi.9)

Nasib Koperasi dan Keharusan untuk Melucuti Kekuatan Kapitalisme

Di tengah-tengah situasi runyam seperti itu, bagaimana kira-kira nasib koperasi? Mungkinkah – sebagaimana yang sering dikemukakan orang – koperasi menjadi soko guru perekonomian Indonesia?

Yang jelas, sistem kapitalisme yang sedang berlangsung ini tentu saja menguntungkan golongan masyarakat tertentu. Mereka yang diuntungkan oleh sistem ini pasti berkepentingan untuk mempertahankannya.

Koperasi – setidaknya secara konseptual – merupakan bangun usaha yang lebih bersifat sosialistik, menekankan kolektivisme, tidak mendasarkan pada pengandaian filsafat manusia yang serakah, egoistik, hedonistik atau binatang ekonomi. Maka koperasi – setidaknya pada tingkat konsepsi – merupakan lawan dari kapitalisme. Dengan demikian jika koperasi mampu ditumbuhkembangkan sedemikian rupa menjadi kekuatan ekonomi yang berarti, ia akan menjadi ancaman bagi golongan-golongan masyarakat yang diuntungkan oleh kapitalisme tersebut.10) Tumbuhkembangnya koperasi akan mengundang tindakan-tindakan ekonomi maupun politik untuk menghantamnya, baik dari sektor swasta, modal besar (kapitalis) atau pejabat-pejabat yang sangat terlibat dan menjadi gandulan para pengusaha.11)

Ini artinya, usaha-usaha untuk mengembangkan koperasi tidak bisa hanya dengan cara pemberian serba fasilitas oleh pemerintah terhadap koperasi seperti yang selama ini dilakukan (lagipula cara ini tidak selalu berdampak positif bagi mental para pengelola koperasi), akan tetapi jelas menuntut kesungguhan political will pemerintah untuk secara nyata dan sistematis melucuti kekuatan-kekuatan kapitalisme dan berbagai jaringannya di Indonesia ini. Ini memang kerja yang sungguh berat, tetapi tanpa itu koperasi hanya mungkin hidup di pinggiran, dan keinginan luhur untuk menjadikan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia akan cuma tinggal di awan gemawan.

Tuntutan Persyaratan Mental

Kecuali itu, ada soal lain yang kiranya tak kalah penting. Di tengah bergemuruhnya sistem perekonomian kapitalisme dengan segala dampak negatifnya bagi mentalitas masyarakat kita (pelucutan kekuatan kapitalisme jika itu sungguh hendak dilakukan kiranya butuh waktu juga, sementara usaha-usaha penyiapan benih-benih untuk sistem pengganti perlu dilakukan), maka di samping urgensi usaha terus-menerus peningkatan kemampuan manajerial dan entrepreneurship pengelola koperasi, kiranya para pengelola koperasi dituntut untuk menjadi pribadi-pribadi yang “extra ordinary”, yakni pribadi-peribadi yang relatif terbebas dari penyakit-penyakit mental seperti yang terpaparkan di atas. Mungkinkah? Tetapi kalau tidak mungkin, pagar administrasi selalu saja bisa diterobos. Sekedar menyebut beberapa contoh, korupsi 5,7 milyar rupiah di koperasi tahu tempe Jawa Tengah ternyata terjadi, juga penyelewengan-penyelewengan di Puskud Mina, KUD Karyamina Tegal dan Kopapin Tegal. Malahan baru-baru ini juru bicara komisi VII (yang membidangi antara lain masalah koperasi dan perdagangan), Soemardjo Partosudirdjo, dalam rapat paripurna DPR menyatakan keprihatinannya akan adanya koperasi-koperasi yang berjalan tidak beres, dan meminta pemerintah menindak pengurus tersangka penyelewengan secara tuntas, demi nama baik koperasi.12)

Mentalitas buruk pengelola koperasi justru di saat “rintisan” seperti sekarang ini sangat mengancam citra baik koperasi, dan akan menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap koperasi.

Kiranya tuntutan ini juga menuding secara khas kepada koperasi-koperasi mahasiswa (Kopma), antara lain mengingat kedudukan mahasiswa sebagai primus interpares-nya kaum muda, calon pemimpin di masa depan. Sungguh tidak patut kalau kiprah mahasiswa di Kopma lebih bersifat ramai-ramai memanfaatkan berbagai guyuran fasilitas untuk kepentingan pribadi maupun klik tertentu atau serba mumpung. Kiprah mahasiswa di Kopma harus sarat dengan idealisme melawan kapitalisme, melakukan usaha-usaha inisiasi bersama-sama kekuatan-kekuatan lain yang memprihatini dan memihak nasib rakyat banyak, menuju sistem perekonomian yang berkeadilan sosial. Etos kegiatan kita terutama adalah etos menanam, bukan etos memetik. Dalam keadaan bagaimanapun juga, kita harus tetap optimis dan bekerja keras dengan terus meningkatkan kewaspadaan.

CATATAN:

1) Lihat “Sejarah Nasional Indonesia”, Prof. Sartono Kartodihardjo, dkk; Balai Pustaka, 1977, hal. 189 dan seterusnya.

2) Kapitalisme di negara Dunia Ketiga pada umumnya menimbulkan “disarticulated economy”, yaitu bahwa karena produksi (dan konsumsi) tidak dikuasai oleh orang-orang dari negara tersebut (dalam hal ini: Indonesia), tetapi produksi biasanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maka sebagian besar keuntungan jatuh ke tangan asing (meski sebagian besar yang lain jatuh ke tangan elite nasional). Buruh biasanya hanya dilihat sebagai faktor produksi, tak diperhitungkan sebagai faktor konsumsi, maka upah mereka bisa ditekan serendah mungkin.

3) Lihat, misalnya, majalah “Monitor”, Jakarta, no. 3, th. VI, Juli, 1981.

4) MNC adalah perusahaan yang beroperasi di berbagai negara dan mempunyai fasilitas produksi dan jasa di luar negara asalnya (dari “The Penguin Dictionary of Economics”, 1975, hal. 291). Karena MNC menetapkan keputusan-keputusan prinsipil dalam konteks global, maka hal itu sering diputuskan di luar negara-negara tempat MNC beroperasi.

5) “Kompas” pernah meringkas dengan judul “Peranan Iklan Transnasional di Indonesia”, April 1981.

6) Sekilas mengenai pemikiran Adam Smith, lihat misalnya “Tokoh-tokoh Besar Pemikir Ekonomi”, Heilbrouner, Yayasan Penerbit UII, Jakarta 1972, hal. 40-80.

7) Harian “Kompas”, 10 November 1979.

8) Majalah “Basis”, Desember 1979.

9) Harian “Kompas”, 31 Oktober 1984.

10) Lihat misalnya hasil wawancara Darwis Khudori dan Mansur Romi dengan Arief Budiman, Ph.D, majalah “Gelanggang”, no. 9, 1983.

11) Terutama tentang hal yang terakhir itu, menarik menyimak tulisan M. Dawam Rahardjo, “Dunia Bisnis di Persimpangan Jalan”, Prisma, Juli 1983. Di sana diterangkan bagaimana peranan pemerintah yang telah menjadi korporasi dan birokrasi besar sangat membutuhkan dukungan swasta besar dan MNC. Menarik juga menyimak disertasi Richard Robinson, “Capitalism and Bureauchratic State in Indonesia : 1965-1976”, Department of Government & Public Administration, Faculty of Arts, University of Sidney, November, 1977. Suatu studi yang dalam fokusnya mencoba melihat kaitan antara kapitalisme Indonesia, negara birokratik-militer dan kelompok berjuis asli.

12) Harian “Kompas”, 10 November 1984.

ASPEK RELIGIUSITAS DALAM KEHIDUPAN PERKAWINAN

Oleh Audith M Turmudhi (Disampaikan pada Seminar Konseling Perkawinan Program Pendidikan Sarjana, di Fakultas Psikologi UGM, 1985. Terima kasih banyak kepada Bung Mahyudin Al-Mudra yang begitu setia menyimpan paper “tua” saya ini sehingga sekarang, Desember 2009, saya dapat men-share untuk publik yang lebih luas)

I. PENDAHULUAN

Setiap pasangan pria wanita yang memasuki kehidupan perkawinan tentu mengharapkan kebahagiaan dan kelanggengan perkawinannya itu. Mereka mengharapkan terciptanya situasi dan kondisi yang fasilitatif untuk tercapainya aspirasi-aspirasi hidup mereka. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua keluarga barhasil mencapai harapan-harapan itu. Banyak pasangan suami isteri yang terus menerus dibuntuti perasaan jengkel, frustasi karena merasa suami atau isterinya selalu saja bergerak ke arah yang lain dari yang dikehendakinya. Pendek kata, banyak pasangan yang merasakan pasangannya sebagai bukan partner yang cocok untuk bersama-sama mengelola “organisasi” keluarga itu secara efisien dan efektif, selaras dengan tujuan-tujuan hidup mereka.

Meskipun disadari oleh suami isteri akan pentingnya usaha “peleburan” dua pribadi itu dalam kehidupan perkawinan mereka, akan tetapi bagaimanapun juga mereka tetap merupakan dua pribadi dengan keunikannya masing-masing, dengan individual differences-nya. Latar belakang kehidupan masing-masing, pengalamannya, pandangan hidupnya, aspirasi-aspirasi hidupnya, nilai-nilai hidupnya, selera-seleranya, kebiasaan-kebiasaannya bisa cukup berbeda. Perbedaan itu bisa menjadi sumber konflik yang membuat tidak efisien dan tidak efektifnya mekanisme pengelolaan keluarga tersebut, dan bahkan bisa mengancam keberlangsungannya. Oleh sebab itu ada semacam prinsip: semakin tinggi tingkat kesamaan pasangan suami isteri akan semakin mudah usaha saling menyesuaikan diri mereka, dan makin baik jadinya.

Demikianlah maka kesamaan agama, misalnya, dipandang sebagai prasyarat penting untuk dapat tercapainya kebahagiaan kehidupan perkawinan. Akan tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa kesamaan agama tidak serta-merta menjamin adanya kesamaan nilai dalam memandang hidup, dan oleh karenanya juga perilaku hidupnya. Paper ini hendak mencoba menelusur jauh ke bawah dari sekedar permukaan kesamaan formal agama. Paper ini ingin melihat bagaimana aspek religiusitas atau nilai-nilai religius mengambil peran sangat penting dalam kehidupan perkawinan.

II. NILAI DAN MANUSIA

Peter A. Facione, Donald Scherer & Thomas Attig dalam buku mereka “Values and Society”1), menerangkan secara panjang lebar bagaimana peranan nilai dalam kehidupan manusia, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Dikatakan oleh mereka bahwa setiap hari manusia selalu melakukan penilaian-penilaian, pertimbangan-pertimbangan, dan keputusan-keputusan. Diantara yang paling umum dan paling penting dalam kehidupan manusia adalah melakukan keputusan-keputusan tentang “tujuan-tujuan”, pertimbangan-pertimbangan tentang “cara-cara pencapaiannya” dan “terminal-terminal yang hendak dilaluinya”, serta penilaian-penilaian tentang “apa yang seharusnya dilakukan”. Dalam kegiatan itu nilai sangat berperanan dalam mengarahkan tindakan-tindakan, serta membuka penglihatan kepada luas cakupan permasalahan yang dihadapinya.

Berbagai penelitian mengukuhkan pendapat bahwa nilai yang dimiliki seseorang merupakan faktor utama yang memengaruhi sikapnya, dan memainkan peranan yang dasariah dalam mengarahkan motivasi dan mengintegrasikan kepribadian.2)

Dalam kehidupan perkawinan – seperti yang diungkapkan oleh Clore & Byrne3) – semakin tinggi kesamaan nilai kedua orang suami isteri maka semakin kuat pula perasaan positif satu terhadap yang lain, dan afek positif itu akan melicinkan proses saling manyesuaikan dalam kehidupan perkawinan mereka.

III. RELIGIUSITAS DAN AGAMA

Melihat dengan cermat apakah sesungguhnya pasangan suami isteri memiliki nilai-nilai religius yang setara atau tidak (dan bukan sekedar apakah agamanya sama atau tidak) akan banyak menolong pemberian penjelasan kenapa suami isteri yang sama agamanya ternyata seringkali sikap hidupnya, perilaku operasional kesehariannya bisa sangat berbeda. Bisa jadi yang satu lebih egoistik, sementara yang lain lebih altruistik. Bisa jadi yang satu lebih berorientasi pada pengejaran hal-hal yang maknawi, sementara yang lain lebih suka praktis-pragmatis-materialistis. Perbedaan itu bisa sedemikian dahsyat sehingga secara serius bisa mengancam keberlangsungan perkawinan. Memang sangat berbeda antara orang yang menganut agama sekedar untuk kepantasan sosial, menjalankan upacara-upacara agama sekedar untuk kelegaan diri bahwa ia merasa sudah menjalankan perintah Tuhan, dengan orang yang beragama berdasarkan pemahaman dan kesadaran penuh, yang menjalankan upacara-upacara agama dengan penuh penghayatan sebagai upaya untuk terus menerus menyegarkan dan mengukuhkan kesadaran dan komitmennya pada Tuhan akan tugas-tugas hidupnya di muka bumi ini. Rajin menjalankan ritus agama tidak serta-merta menjamin pemahaman dan kesungguhan komitmennya pada nilai-nilai dasar agamanya.

Tentu saja banyak juga orang yang beragama sekaligus religius. Seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religius juga. Tapi soalnya banyak juga orang yang menganut suatu agama karena motivasi jaminan materiil, karir politik, memperoleh jodoh, basa-basi sosial, semata karena keturunan dan tidak lagi melihat apa “raison de etre” agamanya, atau pokoknya cukup beragama secara “statistik” saja.

Diterangkan oleh Y.B. Mangunwijaya4) bahwa agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab. Dengan kata lain, agama lebih menunjuk pada “huruf”, atau “badan”, atau kerangka formal. Sedangkan religiusitas lebih menunjuk kepada “roh”, pada esensi. Religiusitas lebih melihat pada aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Oleh sebab itu, religiusitas secara esensial sangat erat hubungannya dengan perikemanusiaan. Seorang religius senantiasa digoda oleh pertanyaan-pertanyaan dasar: dari mana datangku dan dunia semesta ini? Ke mana aku hendak pergi, dan melalui jalan mana dan bagaimana? Siapakah yang sesungguhnya seharusnya menjadi sandaran eksistensiku, memberikan makna bagi kehadiranku di muka bumi ini?

Dengan demikian seorang religius dalam hidupnya tidak mau dan selalu waspada untuk tidak diombang-ambingkan oleh kesemuan-kesemuan. Ia lebih suka mengejar apa yang maknawi, apa yang substantif, dan bukan sekedar mengejar kepuasan-kepuasan sensual-hedonistik belaka, bukan pula sekedar mengejar formalitas. Ia lebih mendahulukan sikap bertanya apa yang bisa diberikan untuk kehidupan ini, dan bukan dipenuhi oleh pikiran-pikiran tentang apa yang bisa diperoleh (duniawi) pada setiap kesempatan. Maka wajar saja jika seorang religius tindak lakunya lebih bersifat altruistik dan bukannya egoistik, lebih tulus dan bukannya penuh pamrih.

IV. PENUTUP

Dengan demikian nampaklah betapa pentingnya pemuda pemudi yang hendak melangkah ke perkawinan untuk terlebih dahulu saling mengeksplorasi nilai-nilai religiusitas yang dimiliki masing-masing, dan bukan sekedar melihat kesamaan formal agamanya, bukan pula sekedar melihat ketekunan kwantitatif menjalankan ritus-ritus agamanya. Untuk itu sikap keterbukaan, dialog yang intensif-ekstensif sangat dibutuhkan. Demikian juga bagi pasangan suami isteri, kemampuan merumuskan apa yang menjadi nilai-nilai dasar hidupnya, mengomunikasikan dengan bahasa yang jelas jernih pada partnernya, dengan argumentasi yang baik (bukan rasionalisasi, misalnya), dengan cara yang arif bijaksana, cukup toleransi, dengan sikap rendah hati: sama-sama sedang berusaha terus-menerus lebih mendekati kebenaran, meningkatkan kebaikan bersama. Untuk semua itu modal dasar yang sangat dibutuhkan adalah perasaan cinta yang sejati5): ingin menumbuhkan partnernya, bukan menguasai dan mengeksploitasi.

CATATAN:

1) Values and Society; an introduction to ethics and social philosophy, Prentice-Hall, Inc, 1978.

2) Rokeach, M (Ed.), The Nature of Human Values, New York: The Prev Press, 1973. Bisa juga dibaca pada Fishbein, M & E.W. Burgess, Successful Marriage, Garden City, New York: Doubleday and Company, 1963.

3) Clore, G & D. Byrne, A Reinforcement-Affect Model of Attraction :143-170 dalam T.L. Huston (Ed.), Foundations of Interpersonal Attraction, New York: Academic Press, 1974.

4) Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Sinar Harapan, 1982.

5) Uraian tentang jenis-jenis cinta secara amat mengesankan bisa dibaca pada Erich Fromm, The Art of Loving, Parenial Library, 1974.