KOPERASI DI TENGAH KAPITALISME: ETOS KERJA KITA TERUTAMA ETOS MENANAM

Oleh: Audith M Turmudhi (Dimuat di Majalah Berita Bulanan Koperasi Mahasiswa UGM “PILAR”, No. I Th. I, 1984)

Di dalam masyarakat kita sedang berlangsung suatu proses pengejaran terhadap gambaran manusia dan gaya hidup sukses yang dipompakan melalui iklan-iklan, film-film, majalah-majalah dan berbagai contoh perilaku yang bisa disaksikan langsung. Yang dikejar ternyata suatu gambaran manusia sukses yang bersifat materialistik, yakni manusia yang lebih menjunjung nilai-nilai materi tinimbang nilai-nilai rohani, yang lebih memburu prestasi kuantitatif dan bukannya kualitatif, yang mempraktekkan cara bereksistensi – seperti yang dikatakan Erich Fromm – mementingkan to have-nya dan bukannya to be-nya.

Itu berlangsung di kota-kota maupun di desa-desa. Bagi kelompok masyarakat yang miskin dan nampaknya tak bisa keluar dari lingkaran kemiskinannya, tentu saja pengejaran dan sekaligus pameran kesuksesan itu hanya bisa menimbulkan perasaan rendah diri, perasaan gagal dan bahkan mungkin sakit hati. Sungguh memprihatinkan kalau sukses terutama diukur dari “berapa gajimu”, “seperti apa rumahmu”, “apa merek mobilmu”, “apa ijazahmu”, “apa jabatanmu”, dan seterusnya. Tidak aneh kalau lantas terjadi inflasi besar-besaran atas nilai-nilai pengabdian, kesetiaan, dan perjuangan untuk pencapaian kualitas kemanusiaan yang sesungguhnya.

Demikianlah, berbareng dengan semakin gencarnya perlombaan perolehan dan pameran havings itu, kentara pula semakin menguatnya sikap hidup individualistik-egoistik, hipokrisi, pengejaran semata ambisi-ambisi pribadi, pola hubungan kontraktual (serba upah), dan bahkan penghalalan segala cara dalam mencapai tujuan. Moralitas dan kepekaan tanggung jawab sosial makin merosot.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, menarik kita amati setting perekonomian nasional kita. Saat ini, kita lihat ada dualisme dalam sistem perekonomian kita, yakni sistem kapitalis di sektor modern dan sistem feodal di sektor tradisional. Kita lihat juga ditempuhnya strategi pembangunan ekonomi bentuk gabungan. Namun, kiranya jelas bahwa yang dominan sedang berlangsung adalah sebuah sistem perekonomian kapitalistik, yakni sistem perekonomian yang lebih berorientasi pada produsen, kekuatan modal, dan bukannya pada kebutuhan riil rakyat banyak.

Kebijaksanaan Pintu Terbuka

Kalau kita tengok sejarah, kapitalisme memang sudah cukup lama bercokol di tengkuk perekonomian kita. Setidak-tidaknya sejak sekitar seratus tahun yang lalu harta kekayaan rakyat Indonesia mulai diperhitungkan dalam pasaran internasional. Mulailah Indonesia waktu itu menjadi sub-sistem dari sistem pasar dunia. Kultur stelsel atau sistem tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintahan van den Bosch adalah realisasi dari suatu strategi pembangunan gaya kapitalistik yang berorientasi pada pasaran internasional.1) Bahkan, bisa dikatakan bahwa sudah sejak dua-tiga abad yang lalu, dengan datangnya bangsa Eropa, khususnya bangsa Belanda ke Indonesia, mulailah perkenalan kita dengan sistem kapitalisme itu.

Sejak itu, dampak negatif kapitalisme di negara kita mulai tercatat. Antara lain terjadi pengaliran keuntungan ke luar negeri. Terjadi suatu proses yang dinamakan disarticulated economy.2) Hanya segelintir pribumi yang bisa menikmati dan kena cipratan kelimpahan ekonomi. Tapi yang lebih mencekam lagi adalah mencermati terjadinya dampak negatif kapitalisme itu terhadap mentalitas masyarakat.3) Misalnya, dalam perekonomian keluarga, kelebihan uang belanja lebih suka dipakai untuk belanja konsumsi daripada ditabung. Belanja barang sering berlebihan dan kurang mengindahkan efisiensi pemakaiannya, boros dan serba mumpung. Lebih dari itu mental buruk ternyata merembet menjadi sikap hidup terlalu bergantung pada atasan, paternalistik, kuat meniru dan berlaku seperti atasan. Sebaliknya terhadap bawahan bersikap tidak ambil peduli, menganggap remeh dan sepele. Tumbuh subur sikap hidup yang kurang menghargai kerja dan karya tetapi lebih mengagungkan prestise dan kehormatan diri yang lekat dengan ciri-ciri hidup priyayi. Prestise lebih dipentingkan daripada prestasi. Berkembang di tengah masyarakat semacam “kebudayaan mestizo” yang dibangun oleh petugas pemerintah kolonial yang suka pada kemewahan dan juga oleh para pengusaha kaya. Pola hidup mewah ini kemudian sangat menarik perhatian masyarakat, terutama para bangsawan, pegawai gubernemen, karyawan perusahaan, dan golongan terpelajar. Banyak orang yang memimpikan rumah dengan halaman luas, bersantai-ria, berburu, menghisap cerutu, minum-minuman keras, berkendaraan dan berpakaian perlente -- impian-impian mewah di tengah kenyataan hamparan rakyat melarat.

Dalam perjalanan sejarah berikutnya, di masa pasca kemerdekaan, salah satu hal yang sangat penting dicatat adalah diberlakukannya kebijaksanaan ekonomi “pintu terbuka” oleh pemerintah Orde Baru. Didesak oleh situasi ekonomi yang parah (antara lain akibat dari petualangan politik Orde Lama) pemerintah Orde Baru mengambil “jalan pintas” membuat keputusan di bidang ekonomi secara pragmatik dan sektoral. Kalau Orde Lama – setidak-tidaknya secara resmi – menutup pintu bagi modal asing, Orde Baru sebaliknya membuka pintu lebar bagi mereka. Tahun 1967 dikeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing, yang antara lain juga berisi izin mendirikan siaran radio non-pemerintah (sebagai salah satu alat efektif untuk melancarkan iklan produk-produk perusahaan). Tentu saja perusahaan-perusahaan asing sangat girang menyambut saat yang sudah lama dinanti-nanti untuk bisa beroperasi di Indonesia yang kaya sumber-sumber alam dan tenaga kerjanya. Begitulah, Indonesia di mata MNC (Multi National Corperation) menjadi surga investasi.4)

Tidak mengherankan, kemajuan ekonomi selama Orde Baru mengundang datangnya ahli-ahli periklanan dari luar negeri. Asian Survey (1980) dalam laporannya yang berjudul “Transnational Advertising and Politics: The Case of Indonesia5), menyebutkan bahwa tujuh dari perusahaan-perusahaan periklanan transnasional yang beroperasi di Indonesia adalah termasuk dalam empat puluh lima perusahaan periklanan terbesar di dunia, dilihat dari pendapatan maupun banyaknya order. Bahkan lebih seru lagi, dari sepuluh perusahaan periklanan yang mempunyai pendapatan terbesar di dunia, lima diantaranya bekerja di Indonesia, yaitu Dentsu, Mc Cann Erickson, Ogilney & Mather, SSC & B-Lintas dan Hakuhado. Dua yang lain adalah Dencer Fitzgerald-Sample (mempunyai sedikit hubungan dengan Fortune Australia-Indonesia, dan Chuo Senko yang bergabung dengan Kikmad & Chusen.

Memompa Impian-Impian Materialistik

Kita mafhum bahwa periklanan eksesif adalah bagian integral dari sistem perekonomian kapitalistik. Tentu, iklan teramat penting untuk perluasan pasar, untuk bisa menggenjot penjualan produk-produk perusahaan. Lagi pula, seperti dikemukakan oleh Schumpeter, pengusaha bukanlan orang yang sekedar pandai memproduksi barang-barang akan tetapi juga pandai menciptakan kebutuhan-kebutuhan (felt needs), lihai memompakan impian-impian materialistik untuk menimbulkan rising demand. Sebagai akibatnya tak mengherankan jika muncul masalah konsumerisme, yaitu dorongan yang terus meningkat secara eksesif untuk melakukan konsumsi. Mula-mula, tentu, mengkonsumsi barang-barang kebutuhan pokok, kemudian kepada yang kurang pokok, dan akhirnya barang-barang lux. Itu berlangsung secara patologik, sehingga kemudian berkembang biak menjadi berbagai penyakit sosial seperti yang sudah disebutkan di muka.

Kaitan antara kapitalisme dengan berbagai penyakit sosial memang erat. Adam Smith6), peletak dasar konsep kapitalisme, dalam bukunya “The Wealth of Nations” (1776), menyebutkan bahwa keserakahan individual tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Jangan coba-coba berbuat baik, kata Smith, biarkan kebaikan itu muncul sebagai hasil sampingan dari nafsu mementingkan diri sendiri. Bahkan dalam bukunya yang lain, “Theory of Moral Sentiments”, Smith berterus terang mengatakan: “Bagi kebanyakan orang kaya, puncak kegembiraan kekayaan adalah pameran kekayaan itu sendiri yang menurut pandangan mereka belum sempurna bila mereka belum memiliki simbol-simbol kemewahan yang tidak dapat dimiliki orang lain”.

Sekedar pengukuh penglihatan kita, kita angkat juga beberapa pendapat para ahli. Prof. Dr. Harsya W Bachtiar, Dr. Soerjono Soekanto, MA dan Dr. Munandar menyimpulkan bahwa masyarakat kita sudah kejangkitan hedonisme alias pemburu kenikmatan sensual.7) Dick Hartoko dalam “Tanda-tanda Zaman”8) menulis bahwa masyarakat kita menempatkan faktor material di atas segala-galanya, sehingga terjadi perlombaan memperoleh banyak uang. Lebih-lebih lagi hal ini dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam masyarakat, maka sukarlah bagi orang untuk melawan arus. Bahkan baru-baru ini, Ketua BP7 Pusat, (Letjen pur.) Sarwo Edie Wibowo secara keras mengecam mereka yang memperoleh keberuntungan kemakmuran berlebih, yang suka memamerkan gaya hidup konsumtif, boros dan bermewah-mewah. Hal itu, katanya, menimbulkan jurang pemisah antara yang berpunya dan yang tidak berpunya, dan menimbulkan lingkungan sosial yang tidak serasi.9)

Nasib Koperasi dan Keharusan untuk Melucuti Kekuatan Kapitalisme

Di tengah-tengah situasi runyam seperti itu, bagaimana kira-kira nasib koperasi? Mungkinkah – sebagaimana yang sering dikemukakan orang – koperasi menjadi soko guru perekonomian Indonesia?

Yang jelas, sistem kapitalisme yang sedang berlangsung ini tentu saja menguntungkan golongan masyarakat tertentu. Mereka yang diuntungkan oleh sistem ini pasti berkepentingan untuk mempertahankannya.

Koperasi – setidaknya secara konseptual – merupakan bangun usaha yang lebih bersifat sosialistik, menekankan kolektivisme, tidak mendasarkan pada pengandaian filsafat manusia yang serakah, egoistik, hedonistik atau binatang ekonomi. Maka koperasi – setidaknya pada tingkat konsepsi – merupakan lawan dari kapitalisme. Dengan demikian jika koperasi mampu ditumbuhkembangkan sedemikian rupa menjadi kekuatan ekonomi yang berarti, ia akan menjadi ancaman bagi golongan-golongan masyarakat yang diuntungkan oleh kapitalisme tersebut.10) Tumbuhkembangnya koperasi akan mengundang tindakan-tindakan ekonomi maupun politik untuk menghantamnya, baik dari sektor swasta, modal besar (kapitalis) atau pejabat-pejabat yang sangat terlibat dan menjadi gandulan para pengusaha.11)

Ini artinya, usaha-usaha untuk mengembangkan koperasi tidak bisa hanya dengan cara pemberian serba fasilitas oleh pemerintah terhadap koperasi seperti yang selama ini dilakukan (lagipula cara ini tidak selalu berdampak positif bagi mental para pengelola koperasi), akan tetapi jelas menuntut kesungguhan political will pemerintah untuk secara nyata dan sistematis melucuti kekuatan-kekuatan kapitalisme dan berbagai jaringannya di Indonesia ini. Ini memang kerja yang sungguh berat, tetapi tanpa itu koperasi hanya mungkin hidup di pinggiran, dan keinginan luhur untuk menjadikan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia akan cuma tinggal di awan gemawan.

Tuntutan Persyaratan Mental

Kecuali itu, ada soal lain yang kiranya tak kalah penting. Di tengah bergemuruhnya sistem perekonomian kapitalisme dengan segala dampak negatifnya bagi mentalitas masyarakat kita (pelucutan kekuatan kapitalisme jika itu sungguh hendak dilakukan kiranya butuh waktu juga, sementara usaha-usaha penyiapan benih-benih untuk sistem pengganti perlu dilakukan), maka di samping urgensi usaha terus-menerus peningkatan kemampuan manajerial dan entrepreneurship pengelola koperasi, kiranya para pengelola koperasi dituntut untuk menjadi pribadi-pribadi yang “extra ordinary”, yakni pribadi-peribadi yang relatif terbebas dari penyakit-penyakit mental seperti yang terpaparkan di atas. Mungkinkah? Tetapi kalau tidak mungkin, pagar administrasi selalu saja bisa diterobos. Sekedar menyebut beberapa contoh, korupsi 5,7 milyar rupiah di koperasi tahu tempe Jawa Tengah ternyata terjadi, juga penyelewengan-penyelewengan di Puskud Mina, KUD Karyamina Tegal dan Kopapin Tegal. Malahan baru-baru ini juru bicara komisi VII (yang membidangi antara lain masalah koperasi dan perdagangan), Soemardjo Partosudirdjo, dalam rapat paripurna DPR menyatakan keprihatinannya akan adanya koperasi-koperasi yang berjalan tidak beres, dan meminta pemerintah menindak pengurus tersangka penyelewengan secara tuntas, demi nama baik koperasi.12)

Mentalitas buruk pengelola koperasi justru di saat “rintisan” seperti sekarang ini sangat mengancam citra baik koperasi, dan akan menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap koperasi.

Kiranya tuntutan ini juga menuding secara khas kepada koperasi-koperasi mahasiswa (Kopma), antara lain mengingat kedudukan mahasiswa sebagai primus interpares-nya kaum muda, calon pemimpin di masa depan. Sungguh tidak patut kalau kiprah mahasiswa di Kopma lebih bersifat ramai-ramai memanfaatkan berbagai guyuran fasilitas untuk kepentingan pribadi maupun klik tertentu atau serba mumpung. Kiprah mahasiswa di Kopma harus sarat dengan idealisme melawan kapitalisme, melakukan usaha-usaha inisiasi bersama-sama kekuatan-kekuatan lain yang memprihatini dan memihak nasib rakyat banyak, menuju sistem perekonomian yang berkeadilan sosial. Etos kegiatan kita terutama adalah etos menanam, bukan etos memetik. Dalam keadaan bagaimanapun juga, kita harus tetap optimis dan bekerja keras dengan terus meningkatkan kewaspadaan.

CATATAN:

1) Lihat “Sejarah Nasional Indonesia”, Prof. Sartono Kartodihardjo, dkk; Balai Pustaka, 1977, hal. 189 dan seterusnya.

2) Kapitalisme di negara Dunia Ketiga pada umumnya menimbulkan “disarticulated economy”, yaitu bahwa karena produksi (dan konsumsi) tidak dikuasai oleh orang-orang dari negara tersebut (dalam hal ini: Indonesia), tetapi produksi biasanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maka sebagian besar keuntungan jatuh ke tangan asing (meski sebagian besar yang lain jatuh ke tangan elite nasional). Buruh biasanya hanya dilihat sebagai faktor produksi, tak diperhitungkan sebagai faktor konsumsi, maka upah mereka bisa ditekan serendah mungkin.

3) Lihat, misalnya, majalah “Monitor”, Jakarta, no. 3, th. VI, Juli, 1981.

4) MNC adalah perusahaan yang beroperasi di berbagai negara dan mempunyai fasilitas produksi dan jasa di luar negara asalnya (dari “The Penguin Dictionary of Economics”, 1975, hal. 291). Karena MNC menetapkan keputusan-keputusan prinsipil dalam konteks global, maka hal itu sering diputuskan di luar negara-negara tempat MNC beroperasi.

5) “Kompas” pernah meringkas dengan judul “Peranan Iklan Transnasional di Indonesia”, April 1981.

6) Sekilas mengenai pemikiran Adam Smith, lihat misalnya “Tokoh-tokoh Besar Pemikir Ekonomi”, Heilbrouner, Yayasan Penerbit UII, Jakarta 1972, hal. 40-80.

7) Harian “Kompas”, 10 November 1979.

8) Majalah “Basis”, Desember 1979.

9) Harian “Kompas”, 31 Oktober 1984.

10) Lihat misalnya hasil wawancara Darwis Khudori dan Mansur Romi dengan Arief Budiman, Ph.D, majalah “Gelanggang”, no. 9, 1983.

11) Terutama tentang hal yang terakhir itu, menarik menyimak tulisan M. Dawam Rahardjo, “Dunia Bisnis di Persimpangan Jalan”, Prisma, Juli 1983. Di sana diterangkan bagaimana peranan pemerintah yang telah menjadi korporasi dan birokrasi besar sangat membutuhkan dukungan swasta besar dan MNC. Menarik juga menyimak disertasi Richard Robinson, “Capitalism and Bureauchratic State in Indonesia : 1965-1976”, Department of Government & Public Administration, Faculty of Arts, University of Sidney, November, 1977. Suatu studi yang dalam fokusnya mencoba melihat kaitan antara kapitalisme Indonesia, negara birokratik-militer dan kelompok berjuis asli.

12) Harian “Kompas”, 10 November 1984.

ASPEK RELIGIUSITAS DALAM KEHIDUPAN PERKAWINAN

Oleh Audith M Turmudhi (Disampaikan pada Seminar Konseling Perkawinan Program Pendidikan Sarjana, di Fakultas Psikologi UGM, 1985. Terima kasih banyak kepada Bung Mahyudin Al-Mudra yang begitu setia menyimpan paper “tua” saya ini sehingga sekarang, Desember 2009, saya dapat men-share untuk publik yang lebih luas)

I. PENDAHULUAN

Setiap pasangan pria wanita yang memasuki kehidupan perkawinan tentu mengharapkan kebahagiaan dan kelanggengan perkawinannya itu. Mereka mengharapkan terciptanya situasi dan kondisi yang fasilitatif untuk tercapainya aspirasi-aspirasi hidup mereka. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua keluarga barhasil mencapai harapan-harapan itu. Banyak pasangan suami isteri yang terus menerus dibuntuti perasaan jengkel, frustasi karena merasa suami atau isterinya selalu saja bergerak ke arah yang lain dari yang dikehendakinya. Pendek kata, banyak pasangan yang merasakan pasangannya sebagai bukan partner yang cocok untuk bersama-sama mengelola “organisasi” keluarga itu secara efisien dan efektif, selaras dengan tujuan-tujuan hidup mereka.

Meskipun disadari oleh suami isteri akan pentingnya usaha “peleburan” dua pribadi itu dalam kehidupan perkawinan mereka, akan tetapi bagaimanapun juga mereka tetap merupakan dua pribadi dengan keunikannya masing-masing, dengan individual differences-nya. Latar belakang kehidupan masing-masing, pengalamannya, pandangan hidupnya, aspirasi-aspirasi hidupnya, nilai-nilai hidupnya, selera-seleranya, kebiasaan-kebiasaannya bisa cukup berbeda. Perbedaan itu bisa menjadi sumber konflik yang membuat tidak efisien dan tidak efektifnya mekanisme pengelolaan keluarga tersebut, dan bahkan bisa mengancam keberlangsungannya. Oleh sebab itu ada semacam prinsip: semakin tinggi tingkat kesamaan pasangan suami isteri akan semakin mudah usaha saling menyesuaikan diri mereka, dan makin baik jadinya.

Demikianlah maka kesamaan agama, misalnya, dipandang sebagai prasyarat penting untuk dapat tercapainya kebahagiaan kehidupan perkawinan. Akan tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa kesamaan agama tidak serta-merta menjamin adanya kesamaan nilai dalam memandang hidup, dan oleh karenanya juga perilaku hidupnya. Paper ini hendak mencoba menelusur jauh ke bawah dari sekedar permukaan kesamaan formal agama. Paper ini ingin melihat bagaimana aspek religiusitas atau nilai-nilai religius mengambil peran sangat penting dalam kehidupan perkawinan.

II. NILAI DAN MANUSIA

Peter A. Facione, Donald Scherer & Thomas Attig dalam buku mereka “Values and Society”1), menerangkan secara panjang lebar bagaimana peranan nilai dalam kehidupan manusia, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Dikatakan oleh mereka bahwa setiap hari manusia selalu melakukan penilaian-penilaian, pertimbangan-pertimbangan, dan keputusan-keputusan. Diantara yang paling umum dan paling penting dalam kehidupan manusia adalah melakukan keputusan-keputusan tentang “tujuan-tujuan”, pertimbangan-pertimbangan tentang “cara-cara pencapaiannya” dan “terminal-terminal yang hendak dilaluinya”, serta penilaian-penilaian tentang “apa yang seharusnya dilakukan”. Dalam kegiatan itu nilai sangat berperanan dalam mengarahkan tindakan-tindakan, serta membuka penglihatan kepada luas cakupan permasalahan yang dihadapinya.

Berbagai penelitian mengukuhkan pendapat bahwa nilai yang dimiliki seseorang merupakan faktor utama yang memengaruhi sikapnya, dan memainkan peranan yang dasariah dalam mengarahkan motivasi dan mengintegrasikan kepribadian.2)

Dalam kehidupan perkawinan – seperti yang diungkapkan oleh Clore & Byrne3) – semakin tinggi kesamaan nilai kedua orang suami isteri maka semakin kuat pula perasaan positif satu terhadap yang lain, dan afek positif itu akan melicinkan proses saling manyesuaikan dalam kehidupan perkawinan mereka.

III. RELIGIUSITAS DAN AGAMA

Melihat dengan cermat apakah sesungguhnya pasangan suami isteri memiliki nilai-nilai religius yang setara atau tidak (dan bukan sekedar apakah agamanya sama atau tidak) akan banyak menolong pemberian penjelasan kenapa suami isteri yang sama agamanya ternyata seringkali sikap hidupnya, perilaku operasional kesehariannya bisa sangat berbeda. Bisa jadi yang satu lebih egoistik, sementara yang lain lebih altruistik. Bisa jadi yang satu lebih berorientasi pada pengejaran hal-hal yang maknawi, sementara yang lain lebih suka praktis-pragmatis-materialistis. Perbedaan itu bisa sedemikian dahsyat sehingga secara serius bisa mengancam keberlangsungan perkawinan. Memang sangat berbeda antara orang yang menganut agama sekedar untuk kepantasan sosial, menjalankan upacara-upacara agama sekedar untuk kelegaan diri bahwa ia merasa sudah menjalankan perintah Tuhan, dengan orang yang beragama berdasarkan pemahaman dan kesadaran penuh, yang menjalankan upacara-upacara agama dengan penuh penghayatan sebagai upaya untuk terus menerus menyegarkan dan mengukuhkan kesadaran dan komitmennya pada Tuhan akan tugas-tugas hidupnya di muka bumi ini. Rajin menjalankan ritus agama tidak serta-merta menjamin pemahaman dan kesungguhan komitmennya pada nilai-nilai dasar agamanya.

Tentu saja banyak juga orang yang beragama sekaligus religius. Seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religius juga. Tapi soalnya banyak juga orang yang menganut suatu agama karena motivasi jaminan materiil, karir politik, memperoleh jodoh, basa-basi sosial, semata karena keturunan dan tidak lagi melihat apa “raison de etre” agamanya, atau pokoknya cukup beragama secara “statistik” saja.

Diterangkan oleh Y.B. Mangunwijaya4) bahwa agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab. Dengan kata lain, agama lebih menunjuk pada “huruf”, atau “badan”, atau kerangka formal. Sedangkan religiusitas lebih menunjuk kepada “roh”, pada esensi. Religiusitas lebih melihat pada aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Oleh sebab itu, religiusitas secara esensial sangat erat hubungannya dengan perikemanusiaan. Seorang religius senantiasa digoda oleh pertanyaan-pertanyaan dasar: dari mana datangku dan dunia semesta ini? Ke mana aku hendak pergi, dan melalui jalan mana dan bagaimana? Siapakah yang sesungguhnya seharusnya menjadi sandaran eksistensiku, memberikan makna bagi kehadiranku di muka bumi ini?

Dengan demikian seorang religius dalam hidupnya tidak mau dan selalu waspada untuk tidak diombang-ambingkan oleh kesemuan-kesemuan. Ia lebih suka mengejar apa yang maknawi, apa yang substantif, dan bukan sekedar mengejar kepuasan-kepuasan sensual-hedonistik belaka, bukan pula sekedar mengejar formalitas. Ia lebih mendahulukan sikap bertanya apa yang bisa diberikan untuk kehidupan ini, dan bukan dipenuhi oleh pikiran-pikiran tentang apa yang bisa diperoleh (duniawi) pada setiap kesempatan. Maka wajar saja jika seorang religius tindak lakunya lebih bersifat altruistik dan bukannya egoistik, lebih tulus dan bukannya penuh pamrih.

IV. PENUTUP

Dengan demikian nampaklah betapa pentingnya pemuda pemudi yang hendak melangkah ke perkawinan untuk terlebih dahulu saling mengeksplorasi nilai-nilai religiusitas yang dimiliki masing-masing, dan bukan sekedar melihat kesamaan formal agamanya, bukan pula sekedar melihat ketekunan kwantitatif menjalankan ritus-ritus agamanya. Untuk itu sikap keterbukaan, dialog yang intensif-ekstensif sangat dibutuhkan. Demikian juga bagi pasangan suami isteri, kemampuan merumuskan apa yang menjadi nilai-nilai dasar hidupnya, mengomunikasikan dengan bahasa yang jelas jernih pada partnernya, dengan argumentasi yang baik (bukan rasionalisasi, misalnya), dengan cara yang arif bijaksana, cukup toleransi, dengan sikap rendah hati: sama-sama sedang berusaha terus-menerus lebih mendekati kebenaran, meningkatkan kebaikan bersama. Untuk semua itu modal dasar yang sangat dibutuhkan adalah perasaan cinta yang sejati5): ingin menumbuhkan partnernya, bukan menguasai dan mengeksploitasi.

CATATAN:

1) Values and Society; an introduction to ethics and social philosophy, Prentice-Hall, Inc, 1978.

2) Rokeach, M (Ed.), The Nature of Human Values, New York: The Prev Press, 1973. Bisa juga dibaca pada Fishbein, M & E.W. Burgess, Successful Marriage, Garden City, New York: Doubleday and Company, 1963.

3) Clore, G & D. Byrne, A Reinforcement-Affect Model of Attraction :143-170 dalam T.L. Huston (Ed.), Foundations of Interpersonal Attraction, New York: Academic Press, 1974.

4) Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Sinar Harapan, 1982.

5) Uraian tentang jenis-jenis cinta secara amat mengesankan bisa dibaca pada Erich Fromm, The Art of Loving, Parenial Library, 1974.

MEMBANGKITKAN NASIONALISME EKONOMI Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 18 Agustus 2004) Dahulu bangsa Indonesia begitu jelas merumuskan musuh bersama yang harus dilawan, yaitu kaum penjajah. Tak ada pilihan lain, tak ada keraguan di hati anak-anak bangsa: penjajah yang telah menelikung dan menghisap kehidupan bangsa harus dilawan habis-habisan. Menunda perlawanan dan membiarkan diri dalam ketercerai-beraian berarti memperpanjang kesengsaraan kehidupan bangsa. Dari situlah rasa cinta tanah air menemukan bentuk tindakan kongkretnya yaitu bahu-membahu berjuang mengorbankan harta benda dan jiwa raga untuk mengusir musuh bersama yang menjadi biang kerok kesengsaraan bangsa itu. Sekarang siapakah musuh bersama kita? Bahkan, masih adakah musuh bersama kita? Agaknya kita kehilangan persepsi dan orientasi yang jelas mengenai hal itu. Hiruk-pikuk perpolitikan nasional maupun daerah yang sangat telanjang mempertontonkan nafsu saling berebut dalam mengedepankan kepentingan kelompok maupun pribadi yang berakibat melemahnya kekuatan kita sebagai bangsa, jelas menunjukkan hilangnya kesadaran kebangsaan kita di tengah makin sengitnya persaingan antar negara di dunia yang semakin mengglobal ini. Kalau kita melihat ke luar dan menyadari betapa dahsyatnya kompetisi perekonomian dunia yang sedang berlangsung dan betapa terancamnya perekonomian kita sekarang dan ke depan, barangkali semua konflik internal itu akan tampak sebagai sangat kekanak-kanakan dan memalukan. Bagaimana tidak? Di tengah gempuran para pelaku ekonomi dunia yang makin hebat, persaingan yang makin sengit, dan keterseokan perekonomian kita menghadapi makin berjayanya perekonomian negara-negara lain, bagaimana bisa kita masih saja sibuk saling cakar dan saling gigit? *** Dunia yang kita diami sekarang sedang memasuki tatanan perdagangan bebas yang jelas sangat luar biasa dampaknya bagi perekonomian kita. Untuk negara-negara ASEAN pasar bebas sudah dimulai sejak tahun 2003. Untuk wilayah Asia Pasifik mulai tahun 2010. Untuk seluruh dunia mulai tahun 2020. Perdagangan bebas yang berarti bebasnya aliran barang dan jasa memasuki batas-batas negara tanpa hambatan tarif maupun non-tarif, yang berarti pula pelaku-pelaku bisnis akan head to head adu kekuatan dan kecerdikan dalam persaingan bisnis internasional, menghadirkan peluang besar sekaligus ancaman serius bagi perekonomian suatu negara. Bagi negara-negara yang pelaku bisnisnya sudah hebat, pasar bebas berarti peluang besar untuk leluasa memasarkan barang dan jasanya menembus batas-batas negara. Pasar menjadi terbuka begitu luas. Bagi negara yang daya saing para pelaku bisnisnya masih lemah seperti negara kita, pasar bebas berarti ancaman serius. Negara kita yang begitu luas dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta ini hanyalah berarti pasar empuk bagi pemain-pemain bisnis asing. Masyarakat konsumen kita akan dimanjakan oleh begitu banyaknya pilihan produk-produk asing yang lebih kompetitif dan lebih menarik dibanding produk-produk nasional maupun lokal. Namun rontoknya produsen-produsen nasional dan lokal karena kalah bersaing tak akan tertahan. Itu berarti bangsa kita hanya akan menjadi bangsa konsumen, bukan bangsa produsen. Itupun daya belinya hanyalah didukung oleh penjualan hasil-hasil alam dan sekedar dari upah sebagai buruh atau kaki-tangan (untuk tidak menyebut komprador) dari beroperasinya perusahaan-perusahaan asing. Jelaslah kalau demikian dinamikanya, di masa depan kita hanya akan menjadi bangsa miskin di tengah-tengah negara-negara lain yang makin kaya. Sekarangpun gejalanya sudah tampak jelas. Ketika pendapatan per kapita negara Malaysia sudah mencapai US$ 10 ribu dan Singapore sudah mencapai US$ 24 ribu, kita masih berada pada sekitar US$ 700. Alangkah jauhnya ketertinggalan kita! Sementara di pasaran, produk-produk asing begitu membanjir. Sebut saja, minuman ringan, makanan, buah-buahan, barang-barang elektronik, kendaraan bermotor, atau apa saja. Semua serba asing. Menggusur daya produksi nasional dan lokal kita. *** Kini saatnya sudah mendesak. Kita harus membangkitkan nasionalisme ekonomi di tengah-tengah globalisasi yang menggempur kita. Sama seperti para pejuang kemerdekaan dahulu yang mengonsolidasikan diri, bahu-membahu bersama rakyat melawan kaum penjajah, kitapun harus melakukan hal serupa. Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong dan menyelamatkan bangsa? Kalau sektor negara tidak mungkin menolak perdagangan bebas karena kita tidak mau dikucilkan dari perdagangan dunia, maka sektor masyarakat dapat berbuat banyak kalau sanggup mengonsolidasikan diri. Pertama, masyarakat konsumen harus lebih memilih produk-produk nasional atau lokal dibanding produk-produk asing. Ini merupakan bentuk nyata dari nasionalisme atau kecintaan kepada bangsa. Seperti di Jepang, produk-produk asing begitu sulit di pasarkan, bukan karena hambatan masuk, melainkan karena begitu cintanya masyarakat Jepang terhadap produk bangsa sendiri. Mereka begitu sadar bahwa kalau bukan bangsa sendiri yang mau menolong, lantas siapa yang mau menolong diri mereka. Mustinya kita juga bisa begitu. Kedua, masyarakat produsen harus committed untuk membalas cinta konsumen dengan cinta yang tidak kalah besarnya. Kesetiaan konsumen harus dibalas dengan kesungguhan tiada tara untuk memberikan kualitas produk dan pelayanan yang terus meningkat. Untuk ini, lagi-lagi kita boleh meniru sikap masyarakat Jepang. Di sana produk untuk pasar dalam negeri justru dibuat oleh para produsen lebih unggul kualitasnya dibanding produk untuk ekspor. Cinta konsumen dalam negeri tidak dihianati dengan memberi produk berkualitas jelek. Di sini justru terbalik, pernyataan "kualitas ekspor" pada suatu produk artinya produk tersebut berkualitas lebih baik dibanding produk untuk pasar dalam negeri! Ketiga, pihak-pihak yang terkait dengan dunia usaha, terutama birokrasi pemerintahan dan keamanan janganlah melakukan tindakan-tindakan a-nasionalis seperti mempersulit proses perizinan atau melakukan pungutan-pungutan liar bahkan "pemerasan" terhadap pengusaha yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menurunnya daya saing. Nasionalisme mereka haruslah berwujud tindakan-tindakan nyata untuk mendorong dan membantu kaum pengusaha agar cepat maju dan berkembang, sehingga para pengusaha dapat menyetor pajak yang besar untuk kepentingan negara dan menciptakan lapangan kerja. Keempat, para pelaku usaha harus memperluas wawasan bisnisnya, bahwa pasar bukanlah sekedar dalam negeri. Jika mereka hanya berkutat dengan pasar dalam negeri pasti hanya soal waktu kapan mereka akan keok oleh gempuran pemain-pemain asing. Bukan strategi bertahan, melainkan strategi menyerang kalau mereka mau menang dalam persaingan global. Sekarang ini masih sedikit jumlah pengusaha kita yang sudah memasuki tahapan ekspor atau tahapan internasional. Kebanyakan masih pada tahapan domestik alias tahapan kesatu. Padahal, seperti disebutkan oleh ahli pemasaan internasional Warren J Keegan, banyak perusahaan kelas dunia sudah berada pada tahapan kelima, yaitu transnasional (yang merupakan tahapan lanjut dari tahapan multinasional dan tahapan global). Alangkah jauhnya! Kelima, para pemimpin, para tokoh, public figure, media massa nasional maupun lokal harus terus menerus menggelorakan semangat nasionalisme ekonomi ini melalui kata-kata dan terutama melalui tindakan keteladanan. Lembaga swadaya masyarakat semacam YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dapat membantu masyarakat konsumen untuk dapat mengenali nasionalitas suatu produk dengan setidak-tidaknya mendorong dilakukannya penandaan oleh produsen untuk produk-produk yang di mata konsumen kurang jelas kadar nasionalitasnya. Misalnya tanda berwarna hijau untuk produk yang murni nasional dan tanda berwarna kuning untuk produk yang kadar nasionalitasnya tergolong tinggi meskipun tidak murni nasional. Tindakan ini dapat dipandang sebagai bagian dari pelayanan atas hak masyarakat konsumen akan informasi produk. Memang, semua itu mudah diucapkan dan sulit dilakukan, bukan? Namun, kalau ada kemauan kuat bersama-sama, tidak ada hal yang mustahil. Dalam suasana peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-59 saat ini sungguh penting untuk kita melakukan penyadaran akan perlunya pewujudan nasionalisme dalam tindakan-tindakan nyata untuk membela dan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan ekonomi di tengah-tengah globalisasi yang menggila.
KEMUNGKINAN MEMBANGUN PSIKOLOGI QUR’ANI Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Yogya Post”, 4 Mei 1990; kemudian dimuat di buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami”, editor: Fuat Nashori, Yogyakarta: penerbit Sipress, 1994) Dalam psikologi, mungkinkah seseorang dihakimi sebagai telah bertindak benar atau salah? Dalam logika mazhab behavioristik, suatu mazhab yang sedang mendominasi dunia pemikiran psikologi, jawabnya jelas: mustahil! Demikian juga dalam mazhab Freudian, mazhab yang juga masih berpengaruh luas. Jadi, bagaimana perbuatan korup, serakah, bermewah-ria, menindas dan mengeksploitasi manusia, berkhianat, iri-dengki, gila hormat, dan sejenisnya dapat dikatakan salah dan amoral dari perspektif keilmuan? Behaviorisme Nilai benar dan salah dalam asumsi psikologi behavioristik adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar ilmiah. Karena itu, konsep benar dan salah sudah seharusnya disingkirkan dari wilayah studi tentang tingkah laku manusia. Dalam pandangan psikologi ini, manusia tak ubah bagai lempung yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada pengaruh lingkungan atau rentetan stimuli yang mengenainya. Maka mustahil perbuatan seseorang dapat dihakimi sebagai benar atau salah. Bukankah stimuli itulah yang menjadi sebab perbuatannya? Bukankah satu-satunya motivasi yang menggerakkan tingkah laku manusia tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya di sini dan kini (here and now)? Maka “benar” dan “salah” hanyalah nilai yang artifisial, hanyalah hasil belajar belaka. Dikemukakan oleh B.F. Skinner dalam bukunya, Beyond Freedom and Dignity (1975), bahwa apa yang dinamakan “benar” dan “salah” dalam tingkah laku bukanlah kebaikan atau kejahatan yang sesungguhnya, melainkan hanyalah hasil dari berbagai reinforcer positif maupun negatif, hadiah (reward) dan hukuman (punishment). Tak pelak lagi, psikologi yang mendasarkan diri pada prinsip stimulus-response-reinforcement ini adalah psikologi yang memandang manusia laksana benda mati. Manusia tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia itu makhluk tak berjiwa. Freudianisme Serupa dengan behaviorisme adalah Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar yang kokoh. Di mata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang. Dalam kata-katanya sendiri, sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958). Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang… Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang… Tak aneh jika, seperti dikatakan Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan sebagai delusi ciptaan manusia. Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah, sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia. Psikologi Humanistik Beruntunglah, dunia psikologi tidak sepenuhnya berisi paham psikologi nihilis seperti terurai di atas. Ada juga mazhab humanistik-eksistensialistik, atau yang dikenal juga sebagai Mazhab Ketiga, yang dalam banyak hal mendasar berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya: Freudianisme dan behaviorisme. Mazhab ini memandang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai kemauan dan kebebasan. Ia dapat berbuat menurut kemauannya sendiri, dan ia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, sehingga dengan demikian ia dapat dimintai pertanggungjawaban. Abraham Maslow, salah seorang tokoh utama psikologi humanistik, sangat tidak menyetujui gagasan yang menyatakan studi tentang tingkah laku manusia harus mengesampingkan konsep tentang benar-salah. Memang salah satu aspek unik dari teori humanistik Maslow adalah keyakinan akan adanya nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Dan nilai-nilai itu menurut Maslow dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika psikologi menolak nilai-nilai moral, ujarnya, bukan saja akan memperlemah dan menghalangi pertumbuhannya, malainkan juga berarti menyerahkan nasib umat manusia pada supernaturalisme atau relativisme moral. Dan dengan begitu, orang-orang seperti Adolf Eichmann dan Hitler atau penjahat-penjahat kemanusiaan lainnya, tak bisa dikatakan melakukan kejahatan. Karena sepanjang menyangkut pribadi mereka, tak ada masalah; mereka telah berbuat efektif dan efisien. Di samping Abrahan Maslow, Victor E. Frankl juga harus disebut di sini. Tokoh utama psikologi eksistensial ini mengritik tajam teoritikus-teoritikus yang berorientasi pada psikoanalisis, yakni mereka yang menerangkan semua perbuatan manusia sampai pada perbuatan yang paling manusiawi dan mulia sekalipun, sebagai didorong motif-motif tak sadar dan mekanisme pertahanan yang rendah. Bagi Frankl, pencarian makna bagi manusia adalah suatu kekuatan primer dalam hidup, bukan rasionalisasi sekunder dari dorongan–dorongan insting. Maslow yang yakin akan adanya dasar ilmiah untuk menetapkan tingkah laku yang benar dan yang salah, kemudian meneliti sifat-sifat atau nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang yang sehat, dan bahkan sangat sehat (tentu saja menurut penilaiannya), yakni pribadi-pribadi yang teraktualisasikan, wakil kelompok yang olehnya dinamakan the growing tip. Dari situ dia menemukan nilai-nilai utama atau nilai-nilai luhur, yang dia namakan Being-values atau B-values, yang berisi: kebenaran (truth), kebajikan (goodness), keindahan (beauty), kesatuan (unity), dikotomi-transendensi (dichotomy-transcendence), keaktifan (aliveness/process), keunikan (uniqueness), kesempurnaan (perfection), keperluan (necessity), penyelesaian (completion), keadilan (justice) keteraturan (order), kesederhanaan (simplicity), kekayaan/kemenyeluruhan (richness/totality/ comprehensiveness), kesantaian (effortlessness), humor (playfulness), kecukup-dirian (self-sufficiency), kebermaknaan (meaningfulness). Menurut Maslow, nilai-nilai itu berhubungan satu sama lain, sehingga harus digunakan untuk saling merumuskan. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian kodrat biologis manusia, melekat dalam kodrat manusia, jadi bukan hasil belajar. Hanya saja, karena dorongan kodrati untuk itu lemah maka mudah dilemahkan, diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Bagi orang yang sehat dan teraktualisasikan jiwanya, ia telah menyerap nilai-nilai itu ke dalam diri, sehingga setiap serangan terhadap nilai-nilai tersebut akan dirasakan sebagai serangan terhadap dirinya. Orang-orang itu memilih dan melaksanakan nilai-nilai itu dengan perasaan bebas, dengan sepenuh penghayatan bahwa memang begitulah yang benar dan sehat untuk dilakukan. Maka menurut Maslow, dengan mengetahui apa yang secara bebas dipilih oleh orang-orang yang sehat-normal-teraktualisasikan, menunjukkan pada kita mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah. Dan hal itu, katanya, merupakan dasar bagi suatu sistem nilai yang alamiah dan ilmiah. Singkatnya, strategi dasarnya adalah: pelajarilah perilaku manusia-manusia yang sehat, maka kita akan tahu mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang buruk. Pada titik ini kita dapat mengajukan catatan kritis, bahwa strategi semacam itu mengandung minimal dua kerawanan. Pertama, ketika menentukan siapa manusia-manusia “sehat” yang dipilih sebagai sampel, kriteria apakah yang dipakai? Kedua, ketika menentukan kerangka konsep atau kerangka teori yang akan digunakan untuk “melihat” dan mengorganisasi data perilaku orang-orang yang diteliti. Menuju Psikologi Qur’ani Pada hemat penulis, sesungguhnya yang dilakukan Maslow -- bagaimanapun juga -- barulah merupakan upaya membaca satu sisi dari “dua sisi mata uang”. Meskipun asumsi-asumsi dasar mengenai manusia pada psikologi humanistik memang tampak jauh lebih manusiawi dibanding pada kedua mazhab psikologi sebelumnya, akan tetapi dari perspektif Islam, asumsi-asumsi itu tidaklah diturunkan dari wahyu. Meskipun dalam hal ini tidak berarti asumsi-asumsi itu pastilah salah, tetapi minimal sudah terlihat adanya kepincangan epistemologis: hanya ayat-ayat kauniyah (alam empirik) yang dimanfaatkan, ayat qauliyah (wahyu) tidak. Jadi perlu digunakan pendekatan yang lebih lengkap. Umat Islam memiliki Al-Qur’an yang diyakini sebagai petujuk dan penerang bagi manusia, yang diturunkan oleh Allah, Sang Pencipta manusia itu sendiri. Dan Allah yang menciptakan manusia sudah barang tentu tahu persis tentang apa dan siapa sesungguhnya manusia. Kitab Allah yang autentik ini di dalamnya mengandung keterangan mengenai manusia dengan segenap sifat, sikap dan perilakunya. Adalah tugas para psikolog muslim untuk merumuskan konsep manusia, sifat-sifat manusia, dan nilai-nilai moral menurut Al-Qur’an. (Dalam melakukan hal tersebut sungguh diperlukan sikap super hati-hati untuk dapat memilah mana sifat-sifat manusia dan nilai-nilai moral yang temporal dan mana yang eternal, mana nilai-nilai yang instrumental dan mana yang esensial). Selanjutnya, agar tidak berhenti di tataran ideologis atau keimanan saja, tetapi dapat berlanjut menjadi ilmu, bahan-bahan tersebut harus diolah secara ilmiah. Konsep manusia Qur’ani atau teori tentang perilaku manusia yang diturunkan dari Al-Qur’an itu harus diverifikasi dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ini sama sekali bukan untuk menjustifikasi atau men-judge kebenaran Al-Qur’an dengan alat ilmu, melainkan karena dua alasan. Pertama, karena yang membaca Al-Qur’an dan mencoba-rumuskan teori tentang manusia daripadanya itu adalah manusia dengan segala kelemahannya, maka selalu terbuka kemungkinan keliru. Jadi kebenaran di tararan ideologis itu perlu pengujian, baik pengujian epistemologis maupun pengujian empiris. Kedua, agar konsep atau teori tentang perilaku manusia itu dapat menjadi teori psikologi (bukan sekedar “ilmu jiwa”), maka ia harus dapat diperiksa, didialogkan dan didiskusikan secara terbuka -- berdasarkan the principle of academic communality -- oleh semua anggota masyarakat akademis. Pendeknya, ia harus memenuhi syarat-syarat ilmiah (meskipun apa yang dinamakan “syarat-syarat ilmiah” itu bukanlah suatu pandangan yang monolit dan statis). Selanjutnya, alat-alat tes yang compatible dengan konsep manusia semacam itu, perlu disusun. Sudah barang tentu, pada level ini status kebenaran teori-teori psikologi tersebut, sebagaimana status kebenaran karya-karya manusia yang lain, adalah relatif. Ia terbuka untuk difalsifikasi dan dikoreksi. Namun demikian, ia terang memiliki pijakan epistemologis maupun ideologis yang lebih kokoh, tidak seperti ilmu-ilmu yang sekuler yang hanya mengandalkan rasionalisme atau empirisme belaka. Landasan-landasan postulat dan asumsi-asumsi yang digunakan di sini dirumuskan secara terbuka dan berasal dari sumber yang jelas, tidak tersembunyi dan misterius seperti dasar keilmuan psikologi konvensional. Tidak ada prinsip keilmuan yang dilanggar dalam seluruh proses tersebut. Al-Qur’an dan keberagamaan di sini bukan digunakan untuk mengintervensi otonomi dunia ilmu, melainkan hanya dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan-bahan keilmuan untuk selanjutnya diproses secara ilmiah. Kalau perlu nama, psikologi yang sungguh-sungguh menggunakan informasi Qur’ani sebagai bahan dasarnya ini dapatlah disebut sebagai psikologi Qur’ani. Maka jelaslah, semua langkah ini merupakan kerja besar, tugas kolektif seluruh psikolog muslim. Membangun psikologi Qur’ani secara keilmuan jelas mungkin, sedangkan secara ideologis bagi ummat Islam adalah kewajiban, yaitu untuk menjadikan Al-Qur’an benar-benar sebagai petunjuk dan penerang untuk seluruh dimensi kehidupan manusia. Wallahu a’lam bi al-sawab.
PRAKSIS PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 4 Juli 2003) Salah satu isu utama yang mencuat di seputar kontroversi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional baru-baru ini adalah masalah pendidikan agama di sekolah. Ada sejumlah tokoh yang berpendapat bahwa keberagamaan, sebagai urusan privat, sebaiknya menjadi wilayah garap keluarga dan masyarakat saja. Undang-undang tidak perlu mengaturnya agar negara tidak mengintervensi wilayah privat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sekolah umum tidak perlu melakukan pengajaran agama karena masalah keimanan dan ketakwaaan merupakan wilayah ajar keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini penulis berpandangan lain: semakin banyak pihak yang peduli dan mengupayakan pembentukan manusia Indonesia menjadi religius -- beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur -- semakin baiklah adanya. Menurut penulis, negara, dalam kasus ini tidaklah masuk ke urusan privat melainkan ke urusan sosial, yakni sebatas menjagai tegaknya social fairness dalam pelaksanaan pengajaran agama di sekolah, demi keharmonisan kehidupan bersama antar umat beragama. Kalau siswa diajar agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh guru yang seagama (inilah yang diatur oleh negara melalui Undang-Undang tersebut), kiranya rasa keadilan masyarakat tidak perlu terusik. Lagi pula, dengan cara demikian sekolah-sekolah swasta bermisi keagamaan akan lebih terdorong untuk melakukan "promosi" agama tidak secara vulgar di kelas dengan mengajarkan suatu agama pada siswa beragama lain, melainkan melalui cara-cara yang cantik dan elegan yakni melalui kecemerlangan budi-pekerti agamis yang ditampilkan oleh penganutnya atau oleh budaya sekolahnya. Mengingat pentingnya pembangunan karakter siswa (baca: karakter bangsa), meskipun pendidikan agama sudah dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, akan lebih baik kalau juga dilakukan sekolah. Yang menjadi masalah adalah praksis pendidikan agama seperti apakah yang dikerjakan sekolah-sekolah kita selama ini. Masih sangat mengecewakannya perilaku moral siswa, juga masih sering terjadinya ketegangan dan keretakan sosial bernuansa agama (seperti yang berlangsung di seputar masalah UU-Sisdiknas) serta maraknya fenomena kemerosotan moral masyarakat, menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam praksis pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama di sekolah masih jauh dari signifikansi peranannya dalam membangun moral bangsa. Pendidikan agama yang menekankan kebenaran mutlak agama sendiri sembari memandang agama lain sebagai salah dan sesat, pastilah membawa siswa pada sikap dan perilaku melecehkan agama lain, intoleran, bahkan potensial memusuhi penganut agama lain. Konflik dan perang atas nama agama, dasar religiusnya adalah sikap ini. Demikian pula pengajaran agama yang terlampau sibuk menekankan ritualisme dan orientasi serba keakhiratan -- kurang mengaitkan keberagamaan dengan perilaku kongkrit duniawi -- potensial membawa siswa pada sikap dan perilaku hidup terbelah Orang dengan sikap ini akan sangat mementingkan kesalehan pribadi (dan biasanya sinis terhadap orang lain yang kurang ritualis), sementara kehidupan sosialnya -- dalam bekerja, berbisnis, berpolitik, berkuasa, dan lain-lain -- berlepotan dengan tindak keculasan, kedengkian, kepalsuan, penyalah-gunaan wewenang, korupsi, dan sebagainya. Dan akhirnya, pendidikan agama yang terlampau menekankan aspek kognitif atau intelektual (terutama hafalan) dan tidak menekankan pembentukan jiwa religius pada siswa, akan mendorong siswa memperlakukan pelajaran agama sebatas untuk keperluan menghadapi ulangan atau ujian, bukan untuk membangun kepribadian. ** Mengacu pada Charles Y Glock & Rodney Stark (Religion & Society, 1966), keberagamaan (religious commitment) memiliki lima dimensi. Kesatu, dimensi intelektual (religious knowledge), menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran-ajaran agamanya. Kedua, dimensi ritualistik (religious practice), menyangkut tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agamanya. Ketiga, dimensi ideologis (religious belief) menyangkut tingkat keyakinan seseorang mengenai kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental atau dogmatik. Keempat, dimensi eksperiensial (religious feeling), menyangkut tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius seseorang. Kelima, dimensi konsekuensial (religious effect), menyangkut seberapa kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atas perilaku-perilaku duniawinya. Urutan seperti yang tertulis tadi, menurut pengamatan penulis juga merupakan urutan penekanan dalam praksis pengajaran/pendidikan dimensi-dimensi keberagamaan di sekolah selama ini. Penelitian yang pernah dilakukan penulis menunjukkan bahwa pengaruh masing-masing dimensi keberagamaan dalam memunculkan perilaku-perilaku positif kepada sesama manusia atau pro-sosial (pro-social behavior) -- berbagi, bekerja-sama, menyumbang, menolong, berlaku jujur, berbuat dermawan, memelihara, merawat, dan memperhatikan hak serta kesejahteraan orang lain -- urutan kekuatan pengaruhnya terbalik dari yang tertulis di atas. Oleh karena itu, jika kita ingin pendidikan agama di sekolah benar-benar fungsional dan kontekstual dengan masalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini, aspek-aspek pendidikan agama di sekolah haruslah dengan urutan skala prioritas dan garapan materi pendidikan seperti berikut ini. Pertama, pendidikan agama sebaiknya mengutamakan dimensi konsekuensial keberagamaan. Ajaklah dan latihlah siswa untuk mempraktikkan suruhan-suruhan atau nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata duniawi, seperti menjaga kebersihan, bertindak jujur dalam ujian, tolong-menolong untuk kebaikan, menghargai orang lain (termasuk yang lain agama), dan lain-lain -- sebagai bagian dari ekspresi iman mereka. Latihlah siswa menyisihkan uang jajan untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Ajaklah siswa mengunjungi penganut agama lain dan buatlah kegiatan-bersama untuk membangun sikap penghargaan, toleransi, dan kerjasama antar umat beragama. Ajarkan bahwa agama adalah rahmat bagi kehidupan bersama. Agama harus menjadi faktor perekat, bukan faktor disintegratif; faktor solusi, bukan faktor masalah. Sebab, semua agama mendambakan kehidupan umat manusia yang damai, sejahtera, dan berkualitas. Siswa penting disadarkan bahwa keberagamaan haruslah membuahkan perilaku hidup baik. Tanpa itu, betapapun "rimbunnya" tampilan keberagamaan seseorang, itu bagaikan kerimbunan ilalang belaka. Kedua, dimensi eksperiensial digarap dengan upaya-upaya menghadirkan Tuhan dalam kesadaran siswa di setiap saat: dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan, dan kecanggihan alam semesta ciptaan Tuhan, serta dalam aktivitas keseharian siswa. Dengan begitu, Tuhan tidak hanya dihadirkan pada momen-momen eksklusif ritual saja, melainkan terus menerus dalam setiap langkah kehidupan. Ketiga, pengolahan dimensi ideologis dilakukan dengan tetap mengedepankan perlunya sikap kerendahan hati dan kelapangan jiwa. Peyakinan pada kebenaran agama yang dianut siswa tidak boleh menghasilkan fanatisme sempit, arogansi religius, kelumpuhan akal, dan sikap anti-dialog. Perlu disadarkan pada siswa bahwa Tuhan adalah Tuhan alam semesta. Tuhan "berbicara" tidak melulu pada kelompok agama tertentu saja, namun pada semua umat manusia. Kebenaran Ilahi terserak di mana-mana. Tanpa kesadaran ini orang mudah tergoda untuk melakukan rekruitmen penganut agama lain dengan dalih penyelamatan yang berakibat keretakan sosial. Keempat, pengajaran dan pelatihan tata-cara ritus-ritus agama haruslah dilakukan sambil menekankan penyadaran siswa bahwa ritualitas lebih merupakan upaya peneguhan komitmen keber-Tuhanan seseorang, penjernihan rohani, dan penghadiran Tuhan dalam jiwa, sehingga efektivitasnya haruslah berupa perilaku hidup baik. Ritualisme tanpa perilaku hidup baik adalah kebohongan dalam beragama. Kelima, pengajaran dimensi intelektual di samping menyangkut hal-hal seputar sejarah keagamaan, isi Kitab Suci, dan semacamnya, penting pula mengetengahkan diskursus tentang bagaimana nilai-nilai luhur agamawi dapat diejawantahkan dalam praksis kehidupan nyata di alam sosial Indonesia masa kini dan juga antisipatif terhadap masa depan. Dengan demikian, intelektualisme keagamaan menjadi kontekstual dengan situasi zaman. ** Di era otonomi sekolah dewasa ini, bukan pemerintah, melainkan stake holders sekolah (komite sekolah, kepala sekolah, guru, orangtua siswa) yang berhak menentukan konsep praksis pendidikan agama. Penulis mengusulkan sketsa konsepsi sebagaimana terurai di atas. Namun perlu diperhatikan, betapapun bagusnya suatu konsep, dalam pelaksanaannya semua itu akan tumpul jika guru agama sebagai ujung tombak di lapangan tidak memiliki kualitas spiritual, emosional, maupun intelektual yang memadai. Mengingat peran kependidikannya yang luar biasa strategis, mestinya penyiapan dan penghargaan terhadap guru-guru agama dilakukan dengan daya dan dana yang istimewa, tidak "ala kadarnya" seperti yang terjadi selama ini. Begitupun, tanpa dibarengi pembiasaan atau pembudayaan nilai-nilai luhur agamawi -- kejujuran, kerendahan hati, ketulusan, kasih sayang, tanggung-jawab, dan sebagainya -- dalam perilaku individual seluruh sivitas akademika maupun institusional sekolah, maka guru agama "superman" sekalipun akan terseok-seok memikul beban berat itu sendirian.
MEMBALIK PARADIGMA PENDIDIKAN Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 10 Juni 2003) Anggapan bahwa intelektualitas adalah segala-galanya atau setidak-tidaknya merupakan faktor utama yang akan membawa orang pada kesuksesan dalam kehidupan karir atau kehidupan nyata di masyarakat, kini terbantah telak sejak Daniel Goleman menulis buku "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More than IQ" (1995). Buku yang merupakan hasil riset yang luas ini -- yang kemudian direspon positif oleh sejumlah ilmuwan yang kemudian melakukan riset lanjutannya -- sungguh sangat menyentak kesadaran pembacanya. Disebutkan oleh Goleman bahwa ada kecerdasan yang jauh lebih besar peranannya dibanding kecerdasan akademik atau kecerdasan intelektual dalam mengantar orang pada kesuksesan hidup, yaitu apa yang dinamakan kecerdasan emosional (emotional intelligence). Goleman menunjukkan betapa banyak orang yang pada waktu di sekolah atau kuliah tergolong pintar, menduduki rangking-akademik atas, namun terbukti gagal dalam kehidupan karirnya. Banyak pula orang yang di sekolah biasa-biasa saja capaian akademiknya, terbukti sukses dalam karir, menjadi orang berprestasi dan berguna bagi masyarakat. Orang yang cerdas secara intelektual namun bodoh secara emosional, dalam kehidupan kerjanya mungkin akan menjadi orang kritis yang hobinya pamer kepintaran dan menjatuhkan orang lewat kritisismenya, arogan, atau mudah tersinggung, gampang marah, mudah runtuh motivasinya ketika menghadapi kesulitan kerja, sulit bekerja-sama, dan sejumlah perilaku negatif lainnya. Alhasil orang demikian akan berkontribusi rendah, bahkan mungkin negatif dalam bekerjasama, dan akan menuai rentetan kegagalan. Kecerdasan intelektual memang penting, karena dengan itu orang secara kognitif dapat menganalisis persoalan yang dihadapi secara logis, sistematis, dan sekaligus mampu menemukan konsepsi pemecahan masalah secara kreatif. Namun bagaimana mengimplementasikan pemikiran kognitifnya itu di lapangan sosial, orang membutuhkan kecerdasan emosional. Emotional Intelligence adalah suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi diri dan emosi orang lain, ketika seseorang berhubungan dengan diri sendiri (intrapersonal relationship) maupun ketika berhubungan dengan orang lain (interpersonal relationship). Orang pintar yang jahat Betapapun pentingnya kecerdasan intelektual maupun emosional bagi kesuksesan seseorang, kita tidak boleh berhenti di situ. Apalah artinya orang yang pintar secara intelektual maupun emosional, tetapi jeblok secara spiritual. Orang ini mungkin akan menjadi orang yang berpengetahuan luas, kritis, kreatif, selalu bergairah, ramah, pandai menyenangkan dan meyakinkan orang, trampil bergaul, dan seterusnya, namun tega hatinya berbuat curang: menipu, berbohong, berkhianat, memfitnah, menjarah hak orang lain, bertindak korup, dan seterusnya. Dan karena dia pintar secara intelektual, maka kejahatannya itu dapat dilakukan dengan cara yang canggih sehingga sulit terlacak atau terbongkar karena pintarnya menghapus jejak, membungkus dan membentengi perbuatannya. Demikian pula karena dia cerdas secara emosional maka dia trampil dalam mengelola emosi-dirinya (self-regulation) sehingga kendati berbuat culas, dia mampu tampil tenang, penuh senyum meyakinkan, bahkan sukses pula merekayasa kesan diri sebagai orang baik, benar, penolong dan sebagainya. Pendeknya, orang ini bak musang berbulu domba: pandai bersandiwara dan akan menghalalkan segala cara demi kepentingannya. Sungguh, ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya bagi kehidupan bersama. Moralitas-spiritualitas rendah bangsa kita inilah yang ditengarai menjadi sumber dari krisis multi-dimensional yang kini masih membelit bangsa dan negara kita. Makin sukses orang-orang ini menduduki jabatan-jabatan dan peran strategisnya, makin ganas korupsi dan kecurangannya. Kecerdasan spiritual mutlak diperlukan Di atas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, mutlak diperlukan kecerdasan spiritual, yakni kemampuan orang untuk membedakan kebajikan dan keburukan, dan kesanggupan untuk memilih atau berpihak pada kebajikan, serta dapat merasakan nikmatnya berbuat bajik. Orang dengan kecerdasan spiritual tinggi akan merasakan kenikmatan spiritual tiada tara tatkala ia sanggup berbuat jujur, lurus, adil, meskipun akibatnya secara material atau secara “duniawi” mungkin ia harus menanggung kerugian. Dengan senantiasa menghidupkan hati nurani, menghadirkan Tuhan dalam kesadaran jiwa dan menjadikan Tuhan sebagai pusat orientasi semua tindakan, orang akan terbebas dari kepalsuan-kepalsuan hidup. Kecerdasan intelektual dan emosional membawa orang pada kesuksesan. Kecerdasan spiritual membawa orang pada kebajikan. Yang kita inginkan adalah menjadi orang sukses yang baik. Tetapi ada ungkapan "It's nice to be important, but it's more important to be nice": baik juga kalau bisa menjadi orang penting atau sukses, tetapi lebih penting menjadi orang baik Membalik skala prioritas-paradigmatik Dengan demikian jelaslah bahwa seharusnya urutan prioritas dalam pengasahan kemampuan manusiawi (human capability) dalam pendidikan adalah pencerdasan spiritualitas sebagai yang utama, yang kedua pencerdasan emosionalitas, dan yang ketiga pencerdasan intelektualitas. Ketiganya penting, namun urutan nilai kepentingannya haruslah seperti itu, tidak terbalik seperti dalam praktik pendidikan kita. Sayang sekali, selama ini ketika orang berbicara tentang upaya peningkatan moralitas atau spiritualitas siswa di sekolah, orang langsung menyebut tentang perlunya penambahan jam pelajaran agama, pemberian pelajaran budi pekerti, atau dulu penataran P-4. Cara-cara demikian sesungguhnya sangat tidak mencukupi untuk pencerdasan spiritualitas siswa. Penambahan pelajaran agama dan budi pekerti, paling jauh hanya menambah pengetahuan siswa tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Dus, hanya masuk di ranah kognitif, yang hanya berguna untuk menjawab soal ulangan atau ujian. Namun untuk menjadikan pengetahuan moral tersebut masuk dan mengeram di ranah afektif dan menjadi bagian dari kepribadian siswa, diperlukan perubahan pola kependidikan yang bukan sekedar superfisial seperti itu, melainkan paradigmatik sifatnya. Harus diwaspadai pula, bahwa pengajaran agama yang salah penanganan bisa membawa siswa pada fanatisme sempit dan arogansi religius yang justru menjauhkan siswa dari spiritualitas. Ada sejumlah hal yang harus dikerjakan oleh sistem persekolahan kita kalau benar-benar ingin menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas secara spiritual, emosional, maupun intelektual. Pertama, sekolah harus menegaskan misinya untuk mengasah ketiga aspek human capability utama peserta didik, yaitu kecerdasan spiritual sebagai top priority, kecerdasan emosional sebagai second priority, dan kecerdasan intelektual sebagai third priority. Kedua, misi tersebut harus benar-benar dijadikan dasar dan semangat dari setiap kebijakan, peraturan, program, maupun perilaku keseharian institusional sekolah. Kejujuran, misalnya harus benar-benar ditegakkan dalam semua proses akademik maupun seluruh proses manajemen persekolahan. Ketiga, setiap guru, bidang studi apapun, sungguh-sungguh menginsyafi dan berkomitmen penuh bahwa kehadirannya di sekolah, tampilnya di kelas, adalah sebagai guru dalam spiritualitas, emosionalitas, dan intelektualitas sekaligus. Perhatian setiap guru atas murid-muridnya haruslah yang pertama pada kinerja spiritual mereka, yang kedua pada kinerja emosional mereka, dan barulah yang ketiga pada kinerja intelektual atau penguasaan akademik siswa. Ketiganya dikerjakan dengan kualitas yang harus terus ditingkatkan. Guru harus menjadi teladan, contoh yang nyata untuk ketiga kecerdasan itu.. Dia tidak akan menganggap bahwa moralitas-spiritualitas adalah urusan guru agama atau guru budi pekerti, dan emosionalitas adalah urusan guru bimbingan konseling semata. Sebagai guru Fisika, misalnya, ia akan berkata pada murid-muridnya: "Anak-anak, meskipun saya adalah guru mata pelajaran Fisika, tetapi tugas saya adalah mencerdaskan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas kalian sekaligus. Saya sungguh bahagia kalau kalian memiliki jiwa yang mulia, berbudi pekerti luhur, senantiasa ingat dan bersyukur pada Tuhan sehingga kalian menjadi manusia yang baik. Saya juga sungguh bahagia kalau kalian memiliki emosi yang sehat-positif yang akan membawa kalian pada kesuksesan hidup di masyarakat. Saya juga akan bahagia jika kalian bisa menguasai dengan baik mata pelajaran saya yaitu Fisika karena hal itu akan membantu mencerdaskan intelektualitas kalian. Saya akan mengolah, mencermati, dan mengevaluasi kinerja ketiga aspek penting kemampuan manusiawi kalian itu…." Keempat, setiap mata pelajaran didesain sedemikian rupa sehingga bermuatan pencerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sekaligus. Kelima, sekolah harus menjadi tempat pergaulan sosial yang nyata-nyata membiasakan atau membudayakan nilai-nilai cerdas spiritual, cerdas emosional, dan cerdas intelektual. Sikap dan perilaku serta hubungan antar dan inter guru, murid, dan karyawan haruslah terasa sungguh-sungguh mencerahkan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas semua sivitas akademika sekolah. Keenam, kesemuanya ini haruslah dikerjakan dengan teknik-teknik yang segar, kreatif, menggembirakan, dan berkualitas, sehingga ketiga sasaran pencerdasan itu dapat dicapai secara efektif. Jika spiritualitas murid berhasil dijernihkan sehingga pikiran-pikiran negatif-destruktif jauh tereliminasi, demikian pula emosionalitas mereka tercerahkan penuh motivasi positif, maka dengan sendirinya energi mental siswa akan mudah terfokus pada pencapaian prestasi akademik. Akhirnya, belajar dan mencapai prestasi akademik pun -- meskipun diletakkan pada third priority -- menjadi terasa mudah dan menyenangkan.
MENGABDI ITU MEMBERI, BUKAN BEREBUT KEKUASAAN Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 6 Mei 2004) Belajar dari pengalaman agaknya merupakan hal yang teramat sulit bagi para politisi kita. Bukan apa-apa, karena yang harus ditaklukkan adalah diri sendiri. Diri yang ambisius, yang ingin selalu tampil, ingin selalu menang (sehingga lupa bahwa berpolitik adalah kegiatan mulia, yakni perjuangan memenangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan apalagi kepentingan diri sendiri), itulah yang harus ditaklukkan. Dan itu sama sekali bukan sesuatu yang mudah bagi kualitas jiwa kenegarawanan yang masih rendah. Pemilu legislatif yang baru saja berlalu menunjukkan betapa sejumlah partai baru yang mengusung semangat idealisme dan konsep-konsep perubahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, jeblok dalam perolehan suara. Para tokoh pendirinya -- untuk menyebut beberapa diantaranya: Ryaas Rasyid, Andi A Mallarangeng, Sjahrir, Adi Sasono, dan Eros Djarot -- mengatakan bahwa pendirian partai-partai itu semata didorong oleh niat untuk melakukan perubahan dan karena partai-partai yang ada dinilai tidak dapat diharapkan mampu memotori perubahan. Suatu hal yang bagus. Hanya saja, mengapa tokoh-tokoh yang dikenal masyarakat sebagai cerdas dan penuh idealisme itu, yang sama-sama menyatakan ingin melakukan perubahan, kok tidak sanggup menyatukan diri untuk bekerjasama? Ryaas Rasyid dan Andi A Mallarangeng mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK). Sjahrir mendirikan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB). Adi Sasono mendirikan Partai Merdeka. Eros Djarot mendirikan Partai nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Mereka saling bersaing, berebut suara, bukan bersinergi. Dan hasilnya, semua kalah. Mereka tidak belajar dari pengalaman pemilu tahun 1999. Waktu itu, akibat dari tidak terkonsolidasinya elemen-elemen pembaharu pasca pemerintahan Orde Baru (tercermin dari ratusan partai politik baru yang didirikan dan betapa banyaknya partai peserta pemilu, yaitu 48!), maka tidak aneh yang memenangi pemilu itu adalah partai-partai dari kekuatan lama, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di nomor satu dan Partai Golkar di nomor dua. Pada pemilu legislatif tahun 2004 ini, pemenangnya masih kedua partai itu, hanya ganti posisi urutan (Partai Golkar memperoleh sekitar 21% suara, dan PDI-P sekitar 19%). Tentang kedua partai itu sudah kita ketahui kinerja dan sepak terjangnya di panggung kekuasaan Republik ini. Partai Golkar sebagai mesin politik raksasa telah memimpin Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dengan segala peranannya atas terjadinya kerontokan sendi-sendi moral kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berujung pada krisis multi-dimensional. Kendati partai ini sudah menyatakan "Golkar dengan paradigma baru!", namun kita tahu bahwa mengubah struktur, kultur, dan mentalitas organisasi sebesar dan setua Golkar bukan sesuatu yang mudah. Mengenai PDI-P, kinerjanya selama berkuasa di pemerintahan dan di legislatif, pusat maupun daerah, sudah terbukti mengecewakan masyarakat. Hal ini antara lain tampak dari merosotnya dukungan masyarakat di bilik suara 5 April lalu. Jadi jelaslah, untuk lebih dimungkinkannya perubahan di tengah konstelasi politik yang ada, kita perlu membangun kekuatan politik alternatif yang mampu berkompetisi dengan kedua partai tersebut. Namun, yang kita lihat sekarang, dalam menghadapi pemilu presiden pada 5 Juli mendatang, sikap dan perilaku para politisi yang mengaku reformis dan konon menginginkan perubahan demi penyelamatan bangsa, masih sama saja. Mereka belum sanggup untuk bersikap tulus mengedepankan kepentingan bangsa. Dari kalangan mereka, begitu banyak yang ingin maju untuk berebut suara dalam pemilihan presiden. Jelaslah, dengan cara begitu kemungkinan berhasil mengecil. Padahal, kalau mereka mau bersatu, berkoalisi sehat untuk menyusun common platform dan memunculkan satu calon presiden (capres) beserta calon wakil presidennya (cawapres) untuk memenangi pemilu presiden, kekuatan mereka jelas luar biasa besar. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhasil mencitrakan diri sebagai partai yang bersih dan peduli, memperoleh sekitar 7% suara. Partai Demokrat sebagai partai baru yang sama sekali tidak dikenal masyarakat menyangkut platform partai maupun siapa jajaran pimpinannya (tetapi mengusung tokoh yang luar biasa mengesankan track record dan penampilan politiknya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono sebagai capres), memperoleh suara sangat mengejutkan, yaitu sekitar 7,5%. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) cukup besar perolehan suaranya, yaitu sekitar 12%. Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh 6,5%. Kalau semua itu bergabung, jelas sangat signifikan sebagai kekuatan politik. Apalagi jika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memperoleh sekitar 8% suara juga mau bergabung di kelompok alternatif ini, dan tidak sekedar berpikir bagaimana agar Ketua Umumnya bisa menjadi wapres. Dilengkapi dengan dukungan partai-partai reformis kecil lainnya maka koalisi besar (yang tetap mengedepankan nilai, dan bukan semata bagi-bagi kekuasaan) ini setidak-tidaknya di atas kertas bakal memenangi pemilu presiden dengan segenap platform dan program-program utama yang diusungnya. Kalau benar kepentingan bangsa (boleh dibaca: kepentingan reformasi) yang akan dimenangkan dan bukan kepentingan egoisme pribadi, partai, maupun kelompok sosial tertentu, mestinya para capres dari kelompok yang mengklaim menghendaki perubahan itu sanggup bersikap ikhlas untuk mendukung salah seorang kader terbaik bangsa ini untuk maju berkompetisi dengan capres-capres dari Golkar dan PDI-P. Untuk itu, mereka masing-masing dituntut kedewasaannya dalam menilai dan mengukur diri secara jujur dan objektif, dalam bandingannya dengan tokoh lain. Jika introspeksi dan ekstrospeksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa bukan dirinya melainkan tokoh lain yang lebih tepat memimpin bangsa ini lima tahun ke depan, maka di samping ia harus sanggup bersikap arif untuk mengurungkan niatnya menjadi capres, ia juga ditantang kualitas kepemimpinannya untuk sanggup menjelaskan pilihan sikapnya itu pada kelompok pendukungnya, demi pendewasaan. Artinya, para pendukungnya harus dicoba-pengaruhi untuk bersikap mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan emosional-kelompok. Di tengah-tengah kultur masyarakat kita yang masih paternalistik-primordialistik, sikap masyarakat pemilih sebagian besar masih belum rasional-mandiri melainkan masih sangat dipengaruhi oleh para pemimpinnya. Benar, di bilik suara nanti rakyatlah yang berkuasa. Pemimpin hanya berusaha mempengaruhi secara demokratis sebelumnya. *** Tantangan moral ini ditujukan kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menghendaki perubahan. Berpikir jernihlah dan berkomunikasilah untuk bekerja sama, memunculkan satu tokoh yang terbaik sebagai capres (beserta cawapresnya), demi kepentingan bangsa. Ungkapan-ungkapan yang sering dilontarkan ke publik oleh tokoh-tokoh tertentu, seperti "penyelamatan bangsa", "berpolitik sebagai ibadah" dan semacamnya janganlah sekedar dijadikan political gimmick atau sekedar taktik untuk meraih simpati dan dukungan. Penyelamatan bangsa, pengabdian atau ibadah meminta konsistensi sikap, yakni sikap memberi yang terbaik kepada bangsa, bukan berebut kekuasaan yang berakibat berlanjutnya kesengsaraan bangsa! Menjelang pemilu presiden sebentar lagi, kita harus benar-benar menginsyafi situasi dan kondisi Indonesia masa kini. Bangsa dan negara kita sedang didera oleh macam-macam krisis yang luar biasa serius. Angka pengangguran dan kemiskinan membubung tinggi. Mutu pendidikan terpuruk. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Penegakan hukum loyo. Keculasan menjadi perilaku keseharian masyarakat-bangsa, baik dalam berbudaya, berekonomi, berpolitik, berpemerintahan, dan bernegara. Keretakan sosial dan disintegrasi bangsa masih menjadi ancaman nyata. Di tengah-tengah deraan masalah seperti itu, akrobat-akrobat politik dan unjuk retorika demi ambisi pribadi dan kelompok sempit sungguh terasa tidak bermoral. Sudah sangat jelas, bahwa sekarang bangsa ini membutuhkan presiden yang kuat, tegas, dan berani menegakkan kebenaran, apapun risikonya, dengan diri sendiri sebagai teladan. Ia harus cerdas, visioner, teruji dalam kepemimpinan, jujur, dan bersungguh-sungguh ingin membaktikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara. Ia juga harus memiliki emosi yang terkontrol-matang dan sanggup membangkitkan semangat dan kepercayaan diri bangsa lewat komunikasi politiknya yang jernih, jelas, santun, menggugah, dan berwibawa. Kemudian, yang juga sangat penting, ia harus menjadi pemimpin yang konsisten, digerakkan dan dikendalikan oleh prinsip-prinsip yang benar, bukan yang terkesan mencla-mencle dalam menyikapi perubahan arah angin politik. Masalahnya, adakah tokoh yang memenuhi tuntutan kualitas seperti itu? Yang sempurna tentu tidak ada, tapi yang relatif mendekatinya agaknya sudah tampak ada. Ia juga memiliki kans cukup besar untuk dipilih rakyat. Tinggallah soal, apakah para politisi kelompok pro-reformasi kita mau mengakuinya dan bersemangat mendukungnya atau tidak. Kalau mau, maka sekaranglah saatnya kaum reformis untuk bersatu, membuktikan ketulusannya, dan berjuang memenangkan kepentingan bangsa! Sekaranglah moment of the truth itu!