MEMBANGKITKAN NASIONALISME EKONOMI Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 18 Agustus 2004) Dahulu bangsa Indonesia begitu jelas merumuskan musuh bersama yang harus dilawan, yaitu kaum penjajah. Tak ada pilihan lain, tak ada keraguan di hati anak-anak bangsa: penjajah yang telah menelikung dan menghisap kehidupan bangsa harus dilawan habis-habisan. Menunda perlawanan dan membiarkan diri dalam ketercerai-beraian berarti memperpanjang kesengsaraan kehidupan bangsa. Dari situlah rasa cinta tanah air menemukan bentuk tindakan kongkretnya yaitu bahu-membahu berjuang mengorbankan harta benda dan jiwa raga untuk mengusir musuh bersama yang menjadi biang kerok kesengsaraan bangsa itu. Sekarang siapakah musuh bersama kita? Bahkan, masih adakah musuh bersama kita? Agaknya kita kehilangan persepsi dan orientasi yang jelas mengenai hal itu. Hiruk-pikuk perpolitikan nasional maupun daerah yang sangat telanjang mempertontonkan nafsu saling berebut dalam mengedepankan kepentingan kelompok maupun pribadi yang berakibat melemahnya kekuatan kita sebagai bangsa, jelas menunjukkan hilangnya kesadaran kebangsaan kita di tengah makin sengitnya persaingan antar negara di dunia yang semakin mengglobal ini. Kalau kita melihat ke luar dan menyadari betapa dahsyatnya kompetisi perekonomian dunia yang sedang berlangsung dan betapa terancamnya perekonomian kita sekarang dan ke depan, barangkali semua konflik internal itu akan tampak sebagai sangat kekanak-kanakan dan memalukan. Bagaimana tidak? Di tengah gempuran para pelaku ekonomi dunia yang makin hebat, persaingan yang makin sengit, dan keterseokan perekonomian kita menghadapi makin berjayanya perekonomian negara-negara lain, bagaimana bisa kita masih saja sibuk saling cakar dan saling gigit? *** Dunia yang kita diami sekarang sedang memasuki tatanan perdagangan bebas yang jelas sangat luar biasa dampaknya bagi perekonomian kita. Untuk negara-negara ASEAN pasar bebas sudah dimulai sejak tahun 2003. Untuk wilayah Asia Pasifik mulai tahun 2010. Untuk seluruh dunia mulai tahun 2020. Perdagangan bebas yang berarti bebasnya aliran barang dan jasa memasuki batas-batas negara tanpa hambatan tarif maupun non-tarif, yang berarti pula pelaku-pelaku bisnis akan head to head adu kekuatan dan kecerdikan dalam persaingan bisnis internasional, menghadirkan peluang besar sekaligus ancaman serius bagi perekonomian suatu negara. Bagi negara-negara yang pelaku bisnisnya sudah hebat, pasar bebas berarti peluang besar untuk leluasa memasarkan barang dan jasanya menembus batas-batas negara. Pasar menjadi terbuka begitu luas. Bagi negara yang daya saing para pelaku bisnisnya masih lemah seperti negara kita, pasar bebas berarti ancaman serius. Negara kita yang begitu luas dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta ini hanyalah berarti pasar empuk bagi pemain-pemain bisnis asing. Masyarakat konsumen kita akan dimanjakan oleh begitu banyaknya pilihan produk-produk asing yang lebih kompetitif dan lebih menarik dibanding produk-produk nasional maupun lokal. Namun rontoknya produsen-produsen nasional dan lokal karena kalah bersaing tak akan tertahan. Itu berarti bangsa kita hanya akan menjadi bangsa konsumen, bukan bangsa produsen. Itupun daya belinya hanyalah didukung oleh penjualan hasil-hasil alam dan sekedar dari upah sebagai buruh atau kaki-tangan (untuk tidak menyebut komprador) dari beroperasinya perusahaan-perusahaan asing. Jelaslah kalau demikian dinamikanya, di masa depan kita hanya akan menjadi bangsa miskin di tengah-tengah negara-negara lain yang makin kaya. Sekarangpun gejalanya sudah tampak jelas. Ketika pendapatan per kapita negara Malaysia sudah mencapai US$ 10 ribu dan Singapore sudah mencapai US$ 24 ribu, kita masih berada pada sekitar US$ 700. Alangkah jauhnya ketertinggalan kita! Sementara di pasaran, produk-produk asing begitu membanjir. Sebut saja, minuman ringan, makanan, buah-buahan, barang-barang elektronik, kendaraan bermotor, atau apa saja. Semua serba asing. Menggusur daya produksi nasional dan lokal kita. *** Kini saatnya sudah mendesak. Kita harus membangkitkan nasionalisme ekonomi di tengah-tengah globalisasi yang menggempur kita. Sama seperti para pejuang kemerdekaan dahulu yang mengonsolidasikan diri, bahu-membahu bersama rakyat melawan kaum penjajah, kitapun harus melakukan hal serupa. Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong dan menyelamatkan bangsa? Kalau sektor negara tidak mungkin menolak perdagangan bebas karena kita tidak mau dikucilkan dari perdagangan dunia, maka sektor masyarakat dapat berbuat banyak kalau sanggup mengonsolidasikan diri. Pertama, masyarakat konsumen harus lebih memilih produk-produk nasional atau lokal dibanding produk-produk asing. Ini merupakan bentuk nyata dari nasionalisme atau kecintaan kepada bangsa. Seperti di Jepang, produk-produk asing begitu sulit di pasarkan, bukan karena hambatan masuk, melainkan karena begitu cintanya masyarakat Jepang terhadap produk bangsa sendiri. Mereka begitu sadar bahwa kalau bukan bangsa sendiri yang mau menolong, lantas siapa yang mau menolong diri mereka. Mustinya kita juga bisa begitu. Kedua, masyarakat produsen harus committed untuk membalas cinta konsumen dengan cinta yang tidak kalah besarnya. Kesetiaan konsumen harus dibalas dengan kesungguhan tiada tara untuk memberikan kualitas produk dan pelayanan yang terus meningkat. Untuk ini, lagi-lagi kita boleh meniru sikap masyarakat Jepang. Di sana produk untuk pasar dalam negeri justru dibuat oleh para produsen lebih unggul kualitasnya dibanding produk untuk ekspor. Cinta konsumen dalam negeri tidak dihianati dengan memberi produk berkualitas jelek. Di sini justru terbalik, pernyataan "kualitas ekspor" pada suatu produk artinya produk tersebut berkualitas lebih baik dibanding produk untuk pasar dalam negeri! Ketiga, pihak-pihak yang terkait dengan dunia usaha, terutama birokrasi pemerintahan dan keamanan janganlah melakukan tindakan-tindakan a-nasionalis seperti mempersulit proses perizinan atau melakukan pungutan-pungutan liar bahkan "pemerasan" terhadap pengusaha yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan menurunnya daya saing. Nasionalisme mereka haruslah berwujud tindakan-tindakan nyata untuk mendorong dan membantu kaum pengusaha agar cepat maju dan berkembang, sehingga para pengusaha dapat menyetor pajak yang besar untuk kepentingan negara dan menciptakan lapangan kerja. Keempat, para pelaku usaha harus memperluas wawasan bisnisnya, bahwa pasar bukanlah sekedar dalam negeri. Jika mereka hanya berkutat dengan pasar dalam negeri pasti hanya soal waktu kapan mereka akan keok oleh gempuran pemain-pemain asing. Bukan strategi bertahan, melainkan strategi menyerang kalau mereka mau menang dalam persaingan global. Sekarang ini masih sedikit jumlah pengusaha kita yang sudah memasuki tahapan ekspor atau tahapan internasional. Kebanyakan masih pada tahapan domestik alias tahapan kesatu. Padahal, seperti disebutkan oleh ahli pemasaan internasional Warren J Keegan, banyak perusahaan kelas dunia sudah berada pada tahapan kelima, yaitu transnasional (yang merupakan tahapan lanjut dari tahapan multinasional dan tahapan global). Alangkah jauhnya! Kelima, para pemimpin, para tokoh, public figure, media massa nasional maupun lokal harus terus menerus menggelorakan semangat nasionalisme ekonomi ini melalui kata-kata dan terutama melalui tindakan keteladanan. Lembaga swadaya masyarakat semacam YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dapat membantu masyarakat konsumen untuk dapat mengenali nasionalitas suatu produk dengan setidak-tidaknya mendorong dilakukannya penandaan oleh produsen untuk produk-produk yang di mata konsumen kurang jelas kadar nasionalitasnya. Misalnya tanda berwarna hijau untuk produk yang murni nasional dan tanda berwarna kuning untuk produk yang kadar nasionalitasnya tergolong tinggi meskipun tidak murni nasional. Tindakan ini dapat dipandang sebagai bagian dari pelayanan atas hak masyarakat konsumen akan informasi produk. Memang, semua itu mudah diucapkan dan sulit dilakukan, bukan? Namun, kalau ada kemauan kuat bersama-sama, tidak ada hal yang mustahil. Dalam suasana peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-59 saat ini sungguh penting untuk kita melakukan penyadaran akan perlunya pewujudan nasionalisme dalam tindakan-tindakan nyata untuk membela dan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan ekonomi di tengah-tengah globalisasi yang menggila.
KEMUNGKINAN MEMBANGUN PSIKOLOGI QUR’ANI Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Yogya Post”, 4 Mei 1990; kemudian dimuat di buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami”, editor: Fuat Nashori, Yogyakarta: penerbit Sipress, 1994) Dalam psikologi, mungkinkah seseorang dihakimi sebagai telah bertindak benar atau salah? Dalam logika mazhab behavioristik, suatu mazhab yang sedang mendominasi dunia pemikiran psikologi, jawabnya jelas: mustahil! Demikian juga dalam mazhab Freudian, mazhab yang juga masih berpengaruh luas. Jadi, bagaimana perbuatan korup, serakah, bermewah-ria, menindas dan mengeksploitasi manusia, berkhianat, iri-dengki, gila hormat, dan sejenisnya dapat dikatakan salah dan amoral dari perspektif keilmuan? Behaviorisme Nilai benar dan salah dalam asumsi psikologi behavioristik adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar ilmiah. Karena itu, konsep benar dan salah sudah seharusnya disingkirkan dari wilayah studi tentang tingkah laku manusia. Dalam pandangan psikologi ini, manusia tak ubah bagai lempung yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada pengaruh lingkungan atau rentetan stimuli yang mengenainya. Maka mustahil perbuatan seseorang dapat dihakimi sebagai benar atau salah. Bukankah stimuli itulah yang menjadi sebab perbuatannya? Bukankah satu-satunya motivasi yang menggerakkan tingkah laku manusia tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya di sini dan kini (here and now)? Maka “benar” dan “salah” hanyalah nilai yang artifisial, hanyalah hasil belajar belaka. Dikemukakan oleh B.F. Skinner dalam bukunya, Beyond Freedom and Dignity (1975), bahwa apa yang dinamakan “benar” dan “salah” dalam tingkah laku bukanlah kebaikan atau kejahatan yang sesungguhnya, melainkan hanyalah hasil dari berbagai reinforcer positif maupun negatif, hadiah (reward) dan hukuman (punishment). Tak pelak lagi, psikologi yang mendasarkan diri pada prinsip stimulus-response-reinforcement ini adalah psikologi yang memandang manusia laksana benda mati. Manusia tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia itu makhluk tak berjiwa. Freudianisme Serupa dengan behaviorisme adalah Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar yang kokoh. Di mata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang. Dalam kata-katanya sendiri, sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958). Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang… Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang… Tak aneh jika, seperti dikatakan Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan sebagai delusi ciptaan manusia. Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah, sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia. Psikologi Humanistik Beruntunglah, dunia psikologi tidak sepenuhnya berisi paham psikologi nihilis seperti terurai di atas. Ada juga mazhab humanistik-eksistensialistik, atau yang dikenal juga sebagai Mazhab Ketiga, yang dalam banyak hal mendasar berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya: Freudianisme dan behaviorisme. Mazhab ini memandang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai kemauan dan kebebasan. Ia dapat berbuat menurut kemauannya sendiri, dan ia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, sehingga dengan demikian ia dapat dimintai pertanggungjawaban. Abraham Maslow, salah seorang tokoh utama psikologi humanistik, sangat tidak menyetujui gagasan yang menyatakan studi tentang tingkah laku manusia harus mengesampingkan konsep tentang benar-salah. Memang salah satu aspek unik dari teori humanistik Maslow adalah keyakinan akan adanya nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Dan nilai-nilai itu menurut Maslow dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika psikologi menolak nilai-nilai moral, ujarnya, bukan saja akan memperlemah dan menghalangi pertumbuhannya, malainkan juga berarti menyerahkan nasib umat manusia pada supernaturalisme atau relativisme moral. Dan dengan begitu, orang-orang seperti Adolf Eichmann dan Hitler atau penjahat-penjahat kemanusiaan lainnya, tak bisa dikatakan melakukan kejahatan. Karena sepanjang menyangkut pribadi mereka, tak ada masalah; mereka telah berbuat efektif dan efisien. Di samping Abrahan Maslow, Victor E. Frankl juga harus disebut di sini. Tokoh utama psikologi eksistensial ini mengritik tajam teoritikus-teoritikus yang berorientasi pada psikoanalisis, yakni mereka yang menerangkan semua perbuatan manusia sampai pada perbuatan yang paling manusiawi dan mulia sekalipun, sebagai didorong motif-motif tak sadar dan mekanisme pertahanan yang rendah. Bagi Frankl, pencarian makna bagi manusia adalah suatu kekuatan primer dalam hidup, bukan rasionalisasi sekunder dari dorongan–dorongan insting. Maslow yang yakin akan adanya dasar ilmiah untuk menetapkan tingkah laku yang benar dan yang salah, kemudian meneliti sifat-sifat atau nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang yang sehat, dan bahkan sangat sehat (tentu saja menurut penilaiannya), yakni pribadi-pribadi yang teraktualisasikan, wakil kelompok yang olehnya dinamakan the growing tip. Dari situ dia menemukan nilai-nilai utama atau nilai-nilai luhur, yang dia namakan Being-values atau B-values, yang berisi: kebenaran (truth), kebajikan (goodness), keindahan (beauty), kesatuan (unity), dikotomi-transendensi (dichotomy-transcendence), keaktifan (aliveness/process), keunikan (uniqueness), kesempurnaan (perfection), keperluan (necessity), penyelesaian (completion), keadilan (justice) keteraturan (order), kesederhanaan (simplicity), kekayaan/kemenyeluruhan (richness/totality/ comprehensiveness), kesantaian (effortlessness), humor (playfulness), kecukup-dirian (self-sufficiency), kebermaknaan (meaningfulness). Menurut Maslow, nilai-nilai itu berhubungan satu sama lain, sehingga harus digunakan untuk saling merumuskan. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian kodrat biologis manusia, melekat dalam kodrat manusia, jadi bukan hasil belajar. Hanya saja, karena dorongan kodrati untuk itu lemah maka mudah dilemahkan, diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Bagi orang yang sehat dan teraktualisasikan jiwanya, ia telah menyerap nilai-nilai itu ke dalam diri, sehingga setiap serangan terhadap nilai-nilai tersebut akan dirasakan sebagai serangan terhadap dirinya. Orang-orang itu memilih dan melaksanakan nilai-nilai itu dengan perasaan bebas, dengan sepenuh penghayatan bahwa memang begitulah yang benar dan sehat untuk dilakukan. Maka menurut Maslow, dengan mengetahui apa yang secara bebas dipilih oleh orang-orang yang sehat-normal-teraktualisasikan, menunjukkan pada kita mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah. Dan hal itu, katanya, merupakan dasar bagi suatu sistem nilai yang alamiah dan ilmiah. Singkatnya, strategi dasarnya adalah: pelajarilah perilaku manusia-manusia yang sehat, maka kita akan tahu mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang buruk. Pada titik ini kita dapat mengajukan catatan kritis, bahwa strategi semacam itu mengandung minimal dua kerawanan. Pertama, ketika menentukan siapa manusia-manusia “sehat” yang dipilih sebagai sampel, kriteria apakah yang dipakai? Kedua, ketika menentukan kerangka konsep atau kerangka teori yang akan digunakan untuk “melihat” dan mengorganisasi data perilaku orang-orang yang diteliti. Menuju Psikologi Qur’ani Pada hemat penulis, sesungguhnya yang dilakukan Maslow -- bagaimanapun juga -- barulah merupakan upaya membaca satu sisi dari “dua sisi mata uang”. Meskipun asumsi-asumsi dasar mengenai manusia pada psikologi humanistik memang tampak jauh lebih manusiawi dibanding pada kedua mazhab psikologi sebelumnya, akan tetapi dari perspektif Islam, asumsi-asumsi itu tidaklah diturunkan dari wahyu. Meskipun dalam hal ini tidak berarti asumsi-asumsi itu pastilah salah, tetapi minimal sudah terlihat adanya kepincangan epistemologis: hanya ayat-ayat kauniyah (alam empirik) yang dimanfaatkan, ayat qauliyah (wahyu) tidak. Jadi perlu digunakan pendekatan yang lebih lengkap. Umat Islam memiliki Al-Qur’an yang diyakini sebagai petujuk dan penerang bagi manusia, yang diturunkan oleh Allah, Sang Pencipta manusia itu sendiri. Dan Allah yang menciptakan manusia sudah barang tentu tahu persis tentang apa dan siapa sesungguhnya manusia. Kitab Allah yang autentik ini di dalamnya mengandung keterangan mengenai manusia dengan segenap sifat, sikap dan perilakunya. Adalah tugas para psikolog muslim untuk merumuskan konsep manusia, sifat-sifat manusia, dan nilai-nilai moral menurut Al-Qur’an. (Dalam melakukan hal tersebut sungguh diperlukan sikap super hati-hati untuk dapat memilah mana sifat-sifat manusia dan nilai-nilai moral yang temporal dan mana yang eternal, mana nilai-nilai yang instrumental dan mana yang esensial). Selanjutnya, agar tidak berhenti di tataran ideologis atau keimanan saja, tetapi dapat berlanjut menjadi ilmu, bahan-bahan tersebut harus diolah secara ilmiah. Konsep manusia Qur’ani atau teori tentang perilaku manusia yang diturunkan dari Al-Qur’an itu harus diverifikasi dengan menggunakan metodologi ilmiah. Ini sama sekali bukan untuk menjustifikasi atau men-judge kebenaran Al-Qur’an dengan alat ilmu, melainkan karena dua alasan. Pertama, karena yang membaca Al-Qur’an dan mencoba-rumuskan teori tentang manusia daripadanya itu adalah manusia dengan segala kelemahannya, maka selalu terbuka kemungkinan keliru. Jadi kebenaran di tararan ideologis itu perlu pengujian, baik pengujian epistemologis maupun pengujian empiris. Kedua, agar konsep atau teori tentang perilaku manusia itu dapat menjadi teori psikologi (bukan sekedar “ilmu jiwa”), maka ia harus dapat diperiksa, didialogkan dan didiskusikan secara terbuka -- berdasarkan the principle of academic communality -- oleh semua anggota masyarakat akademis. Pendeknya, ia harus memenuhi syarat-syarat ilmiah (meskipun apa yang dinamakan “syarat-syarat ilmiah” itu bukanlah suatu pandangan yang monolit dan statis). Selanjutnya, alat-alat tes yang compatible dengan konsep manusia semacam itu, perlu disusun. Sudah barang tentu, pada level ini status kebenaran teori-teori psikologi tersebut, sebagaimana status kebenaran karya-karya manusia yang lain, adalah relatif. Ia terbuka untuk difalsifikasi dan dikoreksi. Namun demikian, ia terang memiliki pijakan epistemologis maupun ideologis yang lebih kokoh, tidak seperti ilmu-ilmu yang sekuler yang hanya mengandalkan rasionalisme atau empirisme belaka. Landasan-landasan postulat dan asumsi-asumsi yang digunakan di sini dirumuskan secara terbuka dan berasal dari sumber yang jelas, tidak tersembunyi dan misterius seperti dasar keilmuan psikologi konvensional. Tidak ada prinsip keilmuan yang dilanggar dalam seluruh proses tersebut. Al-Qur’an dan keberagamaan di sini bukan digunakan untuk mengintervensi otonomi dunia ilmu, melainkan hanya dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan-bahan keilmuan untuk selanjutnya diproses secara ilmiah. Kalau perlu nama, psikologi yang sungguh-sungguh menggunakan informasi Qur’ani sebagai bahan dasarnya ini dapatlah disebut sebagai psikologi Qur’ani. Maka jelaslah, semua langkah ini merupakan kerja besar, tugas kolektif seluruh psikolog muslim. Membangun psikologi Qur’ani secara keilmuan jelas mungkin, sedangkan secara ideologis bagi ummat Islam adalah kewajiban, yaitu untuk menjadikan Al-Qur’an benar-benar sebagai petunjuk dan penerang untuk seluruh dimensi kehidupan manusia. Wallahu a’lam bi al-sawab.
PRAKSIS PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 4 Juli 2003) Salah satu isu utama yang mencuat di seputar kontroversi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional baru-baru ini adalah masalah pendidikan agama di sekolah. Ada sejumlah tokoh yang berpendapat bahwa keberagamaan, sebagai urusan privat, sebaiknya menjadi wilayah garap keluarga dan masyarakat saja. Undang-undang tidak perlu mengaturnya agar negara tidak mengintervensi wilayah privat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sekolah umum tidak perlu melakukan pengajaran agama karena masalah keimanan dan ketakwaaan merupakan wilayah ajar keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini penulis berpandangan lain: semakin banyak pihak yang peduli dan mengupayakan pembentukan manusia Indonesia menjadi religius -- beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur -- semakin baiklah adanya. Menurut penulis, negara, dalam kasus ini tidaklah masuk ke urusan privat melainkan ke urusan sosial, yakni sebatas menjagai tegaknya social fairness dalam pelaksanaan pengajaran agama di sekolah, demi keharmonisan kehidupan bersama antar umat beragama. Kalau siswa diajar agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh guru yang seagama (inilah yang diatur oleh negara melalui Undang-Undang tersebut), kiranya rasa keadilan masyarakat tidak perlu terusik. Lagi pula, dengan cara demikian sekolah-sekolah swasta bermisi keagamaan akan lebih terdorong untuk melakukan "promosi" agama tidak secara vulgar di kelas dengan mengajarkan suatu agama pada siswa beragama lain, melainkan melalui cara-cara yang cantik dan elegan yakni melalui kecemerlangan budi-pekerti agamis yang ditampilkan oleh penganutnya atau oleh budaya sekolahnya. Mengingat pentingnya pembangunan karakter siswa (baca: karakter bangsa), meskipun pendidikan agama sudah dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, akan lebih baik kalau juga dilakukan sekolah. Yang menjadi masalah adalah praksis pendidikan agama seperti apakah yang dikerjakan sekolah-sekolah kita selama ini. Masih sangat mengecewakannya perilaku moral siswa, juga masih sering terjadinya ketegangan dan keretakan sosial bernuansa agama (seperti yang berlangsung di seputar masalah UU-Sisdiknas) serta maraknya fenomena kemerosotan moral masyarakat, menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam praksis pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama di sekolah masih jauh dari signifikansi peranannya dalam membangun moral bangsa. Pendidikan agama yang menekankan kebenaran mutlak agama sendiri sembari memandang agama lain sebagai salah dan sesat, pastilah membawa siswa pada sikap dan perilaku melecehkan agama lain, intoleran, bahkan potensial memusuhi penganut agama lain. Konflik dan perang atas nama agama, dasar religiusnya adalah sikap ini. Demikian pula pengajaran agama yang terlampau sibuk menekankan ritualisme dan orientasi serba keakhiratan -- kurang mengaitkan keberagamaan dengan perilaku kongkrit duniawi -- potensial membawa siswa pada sikap dan perilaku hidup terbelah Orang dengan sikap ini akan sangat mementingkan kesalehan pribadi (dan biasanya sinis terhadap orang lain yang kurang ritualis), sementara kehidupan sosialnya -- dalam bekerja, berbisnis, berpolitik, berkuasa, dan lain-lain -- berlepotan dengan tindak keculasan, kedengkian, kepalsuan, penyalah-gunaan wewenang, korupsi, dan sebagainya. Dan akhirnya, pendidikan agama yang terlampau menekankan aspek kognitif atau intelektual (terutama hafalan) dan tidak menekankan pembentukan jiwa religius pada siswa, akan mendorong siswa memperlakukan pelajaran agama sebatas untuk keperluan menghadapi ulangan atau ujian, bukan untuk membangun kepribadian. ** Mengacu pada Charles Y Glock & Rodney Stark (Religion & Society, 1966), keberagamaan (religious commitment) memiliki lima dimensi. Kesatu, dimensi intelektual (religious knowledge), menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran-ajaran agamanya. Kedua, dimensi ritualistik (religious practice), menyangkut tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agamanya. Ketiga, dimensi ideologis (religious belief) menyangkut tingkat keyakinan seseorang mengenai kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental atau dogmatik. Keempat, dimensi eksperiensial (religious feeling), menyangkut tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius seseorang. Kelima, dimensi konsekuensial (religious effect), menyangkut seberapa kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atas perilaku-perilaku duniawinya. Urutan seperti yang tertulis tadi, menurut pengamatan penulis juga merupakan urutan penekanan dalam praksis pengajaran/pendidikan dimensi-dimensi keberagamaan di sekolah selama ini. Penelitian yang pernah dilakukan penulis menunjukkan bahwa pengaruh masing-masing dimensi keberagamaan dalam memunculkan perilaku-perilaku positif kepada sesama manusia atau pro-sosial (pro-social behavior) -- berbagi, bekerja-sama, menyumbang, menolong, berlaku jujur, berbuat dermawan, memelihara, merawat, dan memperhatikan hak serta kesejahteraan orang lain -- urutan kekuatan pengaruhnya terbalik dari yang tertulis di atas. Oleh karena itu, jika kita ingin pendidikan agama di sekolah benar-benar fungsional dan kontekstual dengan masalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini, aspek-aspek pendidikan agama di sekolah haruslah dengan urutan skala prioritas dan garapan materi pendidikan seperti berikut ini. Pertama, pendidikan agama sebaiknya mengutamakan dimensi konsekuensial keberagamaan. Ajaklah dan latihlah siswa untuk mempraktikkan suruhan-suruhan atau nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata duniawi, seperti menjaga kebersihan, bertindak jujur dalam ujian, tolong-menolong untuk kebaikan, menghargai orang lain (termasuk yang lain agama), dan lain-lain -- sebagai bagian dari ekspresi iman mereka. Latihlah siswa menyisihkan uang jajan untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Ajaklah siswa mengunjungi penganut agama lain dan buatlah kegiatan-bersama untuk membangun sikap penghargaan, toleransi, dan kerjasama antar umat beragama. Ajarkan bahwa agama adalah rahmat bagi kehidupan bersama. Agama harus menjadi faktor perekat, bukan faktor disintegratif; faktor solusi, bukan faktor masalah. Sebab, semua agama mendambakan kehidupan umat manusia yang damai, sejahtera, dan berkualitas. Siswa penting disadarkan bahwa keberagamaan haruslah membuahkan perilaku hidup baik. Tanpa itu, betapapun "rimbunnya" tampilan keberagamaan seseorang, itu bagaikan kerimbunan ilalang belaka. Kedua, dimensi eksperiensial digarap dengan upaya-upaya menghadirkan Tuhan dalam kesadaran siswa di setiap saat: dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan, dan kecanggihan alam semesta ciptaan Tuhan, serta dalam aktivitas keseharian siswa. Dengan begitu, Tuhan tidak hanya dihadirkan pada momen-momen eksklusif ritual saja, melainkan terus menerus dalam setiap langkah kehidupan. Ketiga, pengolahan dimensi ideologis dilakukan dengan tetap mengedepankan perlunya sikap kerendahan hati dan kelapangan jiwa. Peyakinan pada kebenaran agama yang dianut siswa tidak boleh menghasilkan fanatisme sempit, arogansi religius, kelumpuhan akal, dan sikap anti-dialog. Perlu disadarkan pada siswa bahwa Tuhan adalah Tuhan alam semesta. Tuhan "berbicara" tidak melulu pada kelompok agama tertentu saja, namun pada semua umat manusia. Kebenaran Ilahi terserak di mana-mana. Tanpa kesadaran ini orang mudah tergoda untuk melakukan rekruitmen penganut agama lain dengan dalih penyelamatan yang berakibat keretakan sosial. Keempat, pengajaran dan pelatihan tata-cara ritus-ritus agama haruslah dilakukan sambil menekankan penyadaran siswa bahwa ritualitas lebih merupakan upaya peneguhan komitmen keber-Tuhanan seseorang, penjernihan rohani, dan penghadiran Tuhan dalam jiwa, sehingga efektivitasnya haruslah berupa perilaku hidup baik. Ritualisme tanpa perilaku hidup baik adalah kebohongan dalam beragama. Kelima, pengajaran dimensi intelektual di samping menyangkut hal-hal seputar sejarah keagamaan, isi Kitab Suci, dan semacamnya, penting pula mengetengahkan diskursus tentang bagaimana nilai-nilai luhur agamawi dapat diejawantahkan dalam praksis kehidupan nyata di alam sosial Indonesia masa kini dan juga antisipatif terhadap masa depan. Dengan demikian, intelektualisme keagamaan menjadi kontekstual dengan situasi zaman. ** Di era otonomi sekolah dewasa ini, bukan pemerintah, melainkan stake holders sekolah (komite sekolah, kepala sekolah, guru, orangtua siswa) yang berhak menentukan konsep praksis pendidikan agama. Penulis mengusulkan sketsa konsepsi sebagaimana terurai di atas. Namun perlu diperhatikan, betapapun bagusnya suatu konsep, dalam pelaksanaannya semua itu akan tumpul jika guru agama sebagai ujung tombak di lapangan tidak memiliki kualitas spiritual, emosional, maupun intelektual yang memadai. Mengingat peran kependidikannya yang luar biasa strategis, mestinya penyiapan dan penghargaan terhadap guru-guru agama dilakukan dengan daya dan dana yang istimewa, tidak "ala kadarnya" seperti yang terjadi selama ini. Begitupun, tanpa dibarengi pembiasaan atau pembudayaan nilai-nilai luhur agamawi -- kejujuran, kerendahan hati, ketulusan, kasih sayang, tanggung-jawab, dan sebagainya -- dalam perilaku individual seluruh sivitas akademika maupun institusional sekolah, maka guru agama "superman" sekalipun akan terseok-seok memikul beban berat itu sendirian.
MEMBALIK PARADIGMA PENDIDIKAN Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 10 Juni 2003) Anggapan bahwa intelektualitas adalah segala-galanya atau setidak-tidaknya merupakan faktor utama yang akan membawa orang pada kesuksesan dalam kehidupan karir atau kehidupan nyata di masyarakat, kini terbantah telak sejak Daniel Goleman menulis buku "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More than IQ" (1995). Buku yang merupakan hasil riset yang luas ini -- yang kemudian direspon positif oleh sejumlah ilmuwan yang kemudian melakukan riset lanjutannya -- sungguh sangat menyentak kesadaran pembacanya. Disebutkan oleh Goleman bahwa ada kecerdasan yang jauh lebih besar peranannya dibanding kecerdasan akademik atau kecerdasan intelektual dalam mengantar orang pada kesuksesan hidup, yaitu apa yang dinamakan kecerdasan emosional (emotional intelligence). Goleman menunjukkan betapa banyak orang yang pada waktu di sekolah atau kuliah tergolong pintar, menduduki rangking-akademik atas, namun terbukti gagal dalam kehidupan karirnya. Banyak pula orang yang di sekolah biasa-biasa saja capaian akademiknya, terbukti sukses dalam karir, menjadi orang berprestasi dan berguna bagi masyarakat. Orang yang cerdas secara intelektual namun bodoh secara emosional, dalam kehidupan kerjanya mungkin akan menjadi orang kritis yang hobinya pamer kepintaran dan menjatuhkan orang lewat kritisismenya, arogan, atau mudah tersinggung, gampang marah, mudah runtuh motivasinya ketika menghadapi kesulitan kerja, sulit bekerja-sama, dan sejumlah perilaku negatif lainnya. Alhasil orang demikian akan berkontribusi rendah, bahkan mungkin negatif dalam bekerjasama, dan akan menuai rentetan kegagalan. Kecerdasan intelektual memang penting, karena dengan itu orang secara kognitif dapat menganalisis persoalan yang dihadapi secara logis, sistematis, dan sekaligus mampu menemukan konsepsi pemecahan masalah secara kreatif. Namun bagaimana mengimplementasikan pemikiran kognitifnya itu di lapangan sosial, orang membutuhkan kecerdasan emosional. Emotional Intelligence adalah suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi diri dan emosi orang lain, ketika seseorang berhubungan dengan diri sendiri (intrapersonal relationship) maupun ketika berhubungan dengan orang lain (interpersonal relationship). Orang pintar yang jahat Betapapun pentingnya kecerdasan intelektual maupun emosional bagi kesuksesan seseorang, kita tidak boleh berhenti di situ. Apalah artinya orang yang pintar secara intelektual maupun emosional, tetapi jeblok secara spiritual. Orang ini mungkin akan menjadi orang yang berpengetahuan luas, kritis, kreatif, selalu bergairah, ramah, pandai menyenangkan dan meyakinkan orang, trampil bergaul, dan seterusnya, namun tega hatinya berbuat curang: menipu, berbohong, berkhianat, memfitnah, menjarah hak orang lain, bertindak korup, dan seterusnya. Dan karena dia pintar secara intelektual, maka kejahatannya itu dapat dilakukan dengan cara yang canggih sehingga sulit terlacak atau terbongkar karena pintarnya menghapus jejak, membungkus dan membentengi perbuatannya. Demikian pula karena dia cerdas secara emosional maka dia trampil dalam mengelola emosi-dirinya (self-regulation) sehingga kendati berbuat culas, dia mampu tampil tenang, penuh senyum meyakinkan, bahkan sukses pula merekayasa kesan diri sebagai orang baik, benar, penolong dan sebagainya. Pendeknya, orang ini bak musang berbulu domba: pandai bersandiwara dan akan menghalalkan segala cara demi kepentingannya. Sungguh, ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya bagi kehidupan bersama. Moralitas-spiritualitas rendah bangsa kita inilah yang ditengarai menjadi sumber dari krisis multi-dimensional yang kini masih membelit bangsa dan negara kita. Makin sukses orang-orang ini menduduki jabatan-jabatan dan peran strategisnya, makin ganas korupsi dan kecurangannya. Kecerdasan spiritual mutlak diperlukan Di atas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, mutlak diperlukan kecerdasan spiritual, yakni kemampuan orang untuk membedakan kebajikan dan keburukan, dan kesanggupan untuk memilih atau berpihak pada kebajikan, serta dapat merasakan nikmatnya berbuat bajik. Orang dengan kecerdasan spiritual tinggi akan merasakan kenikmatan spiritual tiada tara tatkala ia sanggup berbuat jujur, lurus, adil, meskipun akibatnya secara material atau secara “duniawi” mungkin ia harus menanggung kerugian. Dengan senantiasa menghidupkan hati nurani, menghadirkan Tuhan dalam kesadaran jiwa dan menjadikan Tuhan sebagai pusat orientasi semua tindakan, orang akan terbebas dari kepalsuan-kepalsuan hidup. Kecerdasan intelektual dan emosional membawa orang pada kesuksesan. Kecerdasan spiritual membawa orang pada kebajikan. Yang kita inginkan adalah menjadi orang sukses yang baik. Tetapi ada ungkapan "It's nice to be important, but it's more important to be nice": baik juga kalau bisa menjadi orang penting atau sukses, tetapi lebih penting menjadi orang baik Membalik skala prioritas-paradigmatik Dengan demikian jelaslah bahwa seharusnya urutan prioritas dalam pengasahan kemampuan manusiawi (human capability) dalam pendidikan adalah pencerdasan spiritualitas sebagai yang utama, yang kedua pencerdasan emosionalitas, dan yang ketiga pencerdasan intelektualitas. Ketiganya penting, namun urutan nilai kepentingannya haruslah seperti itu, tidak terbalik seperti dalam praktik pendidikan kita. Sayang sekali, selama ini ketika orang berbicara tentang upaya peningkatan moralitas atau spiritualitas siswa di sekolah, orang langsung menyebut tentang perlunya penambahan jam pelajaran agama, pemberian pelajaran budi pekerti, atau dulu penataran P-4. Cara-cara demikian sesungguhnya sangat tidak mencukupi untuk pencerdasan spiritualitas siswa. Penambahan pelajaran agama dan budi pekerti, paling jauh hanya menambah pengetahuan siswa tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Dus, hanya masuk di ranah kognitif, yang hanya berguna untuk menjawab soal ulangan atau ujian. Namun untuk menjadikan pengetahuan moral tersebut masuk dan mengeram di ranah afektif dan menjadi bagian dari kepribadian siswa, diperlukan perubahan pola kependidikan yang bukan sekedar superfisial seperti itu, melainkan paradigmatik sifatnya. Harus diwaspadai pula, bahwa pengajaran agama yang salah penanganan bisa membawa siswa pada fanatisme sempit dan arogansi religius yang justru menjauhkan siswa dari spiritualitas. Ada sejumlah hal yang harus dikerjakan oleh sistem persekolahan kita kalau benar-benar ingin menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas secara spiritual, emosional, maupun intelektual. Pertama, sekolah harus menegaskan misinya untuk mengasah ketiga aspek human capability utama peserta didik, yaitu kecerdasan spiritual sebagai top priority, kecerdasan emosional sebagai second priority, dan kecerdasan intelektual sebagai third priority. Kedua, misi tersebut harus benar-benar dijadikan dasar dan semangat dari setiap kebijakan, peraturan, program, maupun perilaku keseharian institusional sekolah. Kejujuran, misalnya harus benar-benar ditegakkan dalam semua proses akademik maupun seluruh proses manajemen persekolahan. Ketiga, setiap guru, bidang studi apapun, sungguh-sungguh menginsyafi dan berkomitmen penuh bahwa kehadirannya di sekolah, tampilnya di kelas, adalah sebagai guru dalam spiritualitas, emosionalitas, dan intelektualitas sekaligus. Perhatian setiap guru atas murid-muridnya haruslah yang pertama pada kinerja spiritual mereka, yang kedua pada kinerja emosional mereka, dan barulah yang ketiga pada kinerja intelektual atau penguasaan akademik siswa. Ketiganya dikerjakan dengan kualitas yang harus terus ditingkatkan. Guru harus menjadi teladan, contoh yang nyata untuk ketiga kecerdasan itu.. Dia tidak akan menganggap bahwa moralitas-spiritualitas adalah urusan guru agama atau guru budi pekerti, dan emosionalitas adalah urusan guru bimbingan konseling semata. Sebagai guru Fisika, misalnya, ia akan berkata pada murid-muridnya: "Anak-anak, meskipun saya adalah guru mata pelajaran Fisika, tetapi tugas saya adalah mencerdaskan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas kalian sekaligus. Saya sungguh bahagia kalau kalian memiliki jiwa yang mulia, berbudi pekerti luhur, senantiasa ingat dan bersyukur pada Tuhan sehingga kalian menjadi manusia yang baik. Saya juga sungguh bahagia kalau kalian memiliki emosi yang sehat-positif yang akan membawa kalian pada kesuksesan hidup di masyarakat. Saya juga akan bahagia jika kalian bisa menguasai dengan baik mata pelajaran saya yaitu Fisika karena hal itu akan membantu mencerdaskan intelektualitas kalian. Saya akan mengolah, mencermati, dan mengevaluasi kinerja ketiga aspek penting kemampuan manusiawi kalian itu…." Keempat, setiap mata pelajaran didesain sedemikian rupa sehingga bermuatan pencerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sekaligus. Kelima, sekolah harus menjadi tempat pergaulan sosial yang nyata-nyata membiasakan atau membudayakan nilai-nilai cerdas spiritual, cerdas emosional, dan cerdas intelektual. Sikap dan perilaku serta hubungan antar dan inter guru, murid, dan karyawan haruslah terasa sungguh-sungguh mencerahkan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas semua sivitas akademika sekolah. Keenam, kesemuanya ini haruslah dikerjakan dengan teknik-teknik yang segar, kreatif, menggembirakan, dan berkualitas, sehingga ketiga sasaran pencerdasan itu dapat dicapai secara efektif. Jika spiritualitas murid berhasil dijernihkan sehingga pikiran-pikiran negatif-destruktif jauh tereliminasi, demikian pula emosionalitas mereka tercerahkan penuh motivasi positif, maka dengan sendirinya energi mental siswa akan mudah terfokus pada pencapaian prestasi akademik. Akhirnya, belajar dan mencapai prestasi akademik pun -- meskipun diletakkan pada third priority -- menjadi terasa mudah dan menyenangkan.
MENGABDI ITU MEMBERI, BUKAN BEREBUT KEKUASAAN Oleh Audith M Turmudhi (Dimuat di koran “Kedaulatan Rakyat”, 6 Mei 2004) Belajar dari pengalaman agaknya merupakan hal yang teramat sulit bagi para politisi kita. Bukan apa-apa, karena yang harus ditaklukkan adalah diri sendiri. Diri yang ambisius, yang ingin selalu tampil, ingin selalu menang (sehingga lupa bahwa berpolitik adalah kegiatan mulia, yakni perjuangan memenangkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan apalagi kepentingan diri sendiri), itulah yang harus ditaklukkan. Dan itu sama sekali bukan sesuatu yang mudah bagi kualitas jiwa kenegarawanan yang masih rendah. Pemilu legislatif yang baru saja berlalu menunjukkan betapa sejumlah partai baru yang mengusung semangat idealisme dan konsep-konsep perubahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, jeblok dalam perolehan suara. Para tokoh pendirinya -- untuk menyebut beberapa diantaranya: Ryaas Rasyid, Andi A Mallarangeng, Sjahrir, Adi Sasono, dan Eros Djarot -- mengatakan bahwa pendirian partai-partai itu semata didorong oleh niat untuk melakukan perubahan dan karena partai-partai yang ada dinilai tidak dapat diharapkan mampu memotori perubahan. Suatu hal yang bagus. Hanya saja, mengapa tokoh-tokoh yang dikenal masyarakat sebagai cerdas dan penuh idealisme itu, yang sama-sama menyatakan ingin melakukan perubahan, kok tidak sanggup menyatukan diri untuk bekerjasama? Ryaas Rasyid dan Andi A Mallarangeng mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK). Sjahrir mendirikan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB). Adi Sasono mendirikan Partai Merdeka. Eros Djarot mendirikan Partai nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Mereka saling bersaing, berebut suara, bukan bersinergi. Dan hasilnya, semua kalah. Mereka tidak belajar dari pengalaman pemilu tahun 1999. Waktu itu, akibat dari tidak terkonsolidasinya elemen-elemen pembaharu pasca pemerintahan Orde Baru (tercermin dari ratusan partai politik baru yang didirikan dan betapa banyaknya partai peserta pemilu, yaitu 48!), maka tidak aneh yang memenangi pemilu itu adalah partai-partai dari kekuatan lama, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di nomor satu dan Partai Golkar di nomor dua. Pada pemilu legislatif tahun 2004 ini, pemenangnya masih kedua partai itu, hanya ganti posisi urutan (Partai Golkar memperoleh sekitar 21% suara, dan PDI-P sekitar 19%). Tentang kedua partai itu sudah kita ketahui kinerja dan sepak terjangnya di panggung kekuasaan Republik ini. Partai Golkar sebagai mesin politik raksasa telah memimpin Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dengan segala peranannya atas terjadinya kerontokan sendi-sendi moral kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berujung pada krisis multi-dimensional. Kendati partai ini sudah menyatakan "Golkar dengan paradigma baru!", namun kita tahu bahwa mengubah struktur, kultur, dan mentalitas organisasi sebesar dan setua Golkar bukan sesuatu yang mudah. Mengenai PDI-P, kinerjanya selama berkuasa di pemerintahan dan di legislatif, pusat maupun daerah, sudah terbukti mengecewakan masyarakat. Hal ini antara lain tampak dari merosotnya dukungan masyarakat di bilik suara 5 April lalu. Jadi jelaslah, untuk lebih dimungkinkannya perubahan di tengah konstelasi politik yang ada, kita perlu membangun kekuatan politik alternatif yang mampu berkompetisi dengan kedua partai tersebut. Namun, yang kita lihat sekarang, dalam menghadapi pemilu presiden pada 5 Juli mendatang, sikap dan perilaku para politisi yang mengaku reformis dan konon menginginkan perubahan demi penyelamatan bangsa, masih sama saja. Mereka belum sanggup untuk bersikap tulus mengedepankan kepentingan bangsa. Dari kalangan mereka, begitu banyak yang ingin maju untuk berebut suara dalam pemilihan presiden. Jelaslah, dengan cara begitu kemungkinan berhasil mengecil. Padahal, kalau mereka mau bersatu, berkoalisi sehat untuk menyusun common platform dan memunculkan satu calon presiden (capres) beserta calon wakil presidennya (cawapres) untuk memenangi pemilu presiden, kekuatan mereka jelas luar biasa besar. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhasil mencitrakan diri sebagai partai yang bersih dan peduli, memperoleh sekitar 7% suara. Partai Demokrat sebagai partai baru yang sama sekali tidak dikenal masyarakat menyangkut platform partai maupun siapa jajaran pimpinannya (tetapi mengusung tokoh yang luar biasa mengesankan track record dan penampilan politiknya, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono sebagai capres), memperoleh suara sangat mengejutkan, yaitu sekitar 7,5%. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) cukup besar perolehan suaranya, yaitu sekitar 12%. Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh 6,5%. Kalau semua itu bergabung, jelas sangat signifikan sebagai kekuatan politik. Apalagi jika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memperoleh sekitar 8% suara juga mau bergabung di kelompok alternatif ini, dan tidak sekedar berpikir bagaimana agar Ketua Umumnya bisa menjadi wapres. Dilengkapi dengan dukungan partai-partai reformis kecil lainnya maka koalisi besar (yang tetap mengedepankan nilai, dan bukan semata bagi-bagi kekuasaan) ini setidak-tidaknya di atas kertas bakal memenangi pemilu presiden dengan segenap platform dan program-program utama yang diusungnya. Kalau benar kepentingan bangsa (boleh dibaca: kepentingan reformasi) yang akan dimenangkan dan bukan kepentingan egoisme pribadi, partai, maupun kelompok sosial tertentu, mestinya para capres dari kelompok yang mengklaim menghendaki perubahan itu sanggup bersikap ikhlas untuk mendukung salah seorang kader terbaik bangsa ini untuk maju berkompetisi dengan capres-capres dari Golkar dan PDI-P. Untuk itu, mereka masing-masing dituntut kedewasaannya dalam menilai dan mengukur diri secara jujur dan objektif, dalam bandingannya dengan tokoh lain. Jika introspeksi dan ekstrospeksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa bukan dirinya melainkan tokoh lain yang lebih tepat memimpin bangsa ini lima tahun ke depan, maka di samping ia harus sanggup bersikap arif untuk mengurungkan niatnya menjadi capres, ia juga ditantang kualitas kepemimpinannya untuk sanggup menjelaskan pilihan sikapnya itu pada kelompok pendukungnya, demi pendewasaan. Artinya, para pendukungnya harus dicoba-pengaruhi untuk bersikap mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan emosional-kelompok. Di tengah-tengah kultur masyarakat kita yang masih paternalistik-primordialistik, sikap masyarakat pemilih sebagian besar masih belum rasional-mandiri melainkan masih sangat dipengaruhi oleh para pemimpinnya. Benar, di bilik suara nanti rakyatlah yang berkuasa. Pemimpin hanya berusaha mempengaruhi secara demokratis sebelumnya. *** Tantangan moral ini ditujukan kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menghendaki perubahan. Berpikir jernihlah dan berkomunikasilah untuk bekerja sama, memunculkan satu tokoh yang terbaik sebagai capres (beserta cawapresnya), demi kepentingan bangsa. Ungkapan-ungkapan yang sering dilontarkan ke publik oleh tokoh-tokoh tertentu, seperti "penyelamatan bangsa", "berpolitik sebagai ibadah" dan semacamnya janganlah sekedar dijadikan political gimmick atau sekedar taktik untuk meraih simpati dan dukungan. Penyelamatan bangsa, pengabdian atau ibadah meminta konsistensi sikap, yakni sikap memberi yang terbaik kepada bangsa, bukan berebut kekuasaan yang berakibat berlanjutnya kesengsaraan bangsa! Menjelang pemilu presiden sebentar lagi, kita harus benar-benar menginsyafi situasi dan kondisi Indonesia masa kini. Bangsa dan negara kita sedang didera oleh macam-macam krisis yang luar biasa serius. Angka pengangguran dan kemiskinan membubung tinggi. Mutu pendidikan terpuruk. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela. Penegakan hukum loyo. Keculasan menjadi perilaku keseharian masyarakat-bangsa, baik dalam berbudaya, berekonomi, berpolitik, berpemerintahan, dan bernegara. Keretakan sosial dan disintegrasi bangsa masih menjadi ancaman nyata. Di tengah-tengah deraan masalah seperti itu, akrobat-akrobat politik dan unjuk retorika demi ambisi pribadi dan kelompok sempit sungguh terasa tidak bermoral. Sudah sangat jelas, bahwa sekarang bangsa ini membutuhkan presiden yang kuat, tegas, dan berani menegakkan kebenaran, apapun risikonya, dengan diri sendiri sebagai teladan. Ia harus cerdas, visioner, teruji dalam kepemimpinan, jujur, dan bersungguh-sungguh ingin membaktikan diri untuk kepentingan bangsa dan negara. Ia juga harus memiliki emosi yang terkontrol-matang dan sanggup membangkitkan semangat dan kepercayaan diri bangsa lewat komunikasi politiknya yang jernih, jelas, santun, menggugah, dan berwibawa. Kemudian, yang juga sangat penting, ia harus menjadi pemimpin yang konsisten, digerakkan dan dikendalikan oleh prinsip-prinsip yang benar, bukan yang terkesan mencla-mencle dalam menyikapi perubahan arah angin politik. Masalahnya, adakah tokoh yang memenuhi tuntutan kualitas seperti itu? Yang sempurna tentu tidak ada, tapi yang relatif mendekatinya agaknya sudah tampak ada. Ia juga memiliki kans cukup besar untuk dipilih rakyat. Tinggallah soal, apakah para politisi kelompok pro-reformasi kita mau mengakuinya dan bersemangat mendukungnya atau tidak. Kalau mau, maka sekaranglah saatnya kaum reformis untuk bersatu, membuktikan ketulusannya, dan berjuang memenangkan kepentingan bangsa! Sekaranglah moment of the truth itu!
KRITIK TEORI PSIKOLOGI
Audith M Turmudhi (Dimuat di majalah ilmiah “Kalam”, Yogyakarta, nomor 5 vol. III tahun 1993; kemudian dimuat di buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami”, editor: Fuat Nashori, Yogyakarta: penerbit Sipress, 1994) Kalau kita amati sepintas teori-teori psikologi kontemporer yang tersedia di dunia akademik kita, boleh jadi akan timbul kesan bahwa semuanya baik-baik saja. Kesan ini akan membawa sikap lanjutan, yaitu bahwa yang penting untuk kita lakukan adalah sekedar menerimanya dan mengoperasikannya di lapangan. Akan tetapi, jika teori-teori itu kita cermati secara kritis, sangat boleh jadi kesan baik tersebut akan buyar. Kritisisme – kiranya kita semua sepakat – sangat diperlukan agar suatu karya budaya apapun, termasuk psikologi, menjadi dinamik: tumbuh dan berkembang menuju penyehatan dan penyempurnaan. Lebih-lebih lagi bagi kita, masyarakat akademik negara dunia ketiga, sikap kritis bukan saja akan mengantarkan kita menjadi konsumen ilmu yang baik, akan tetapi juga menjadi prasyarat utama bagi tumbuhnya kreativitas penciptaan teori-teori baru (theoriebuilding) atau bahkan teori-teori psikologi berparadigma baru. Relevansi dan urgensi untuk hal yang disebut terakhir itu kiranya jelas dengan sendirinya, yaitu mengingat psikologi adalah ilmu yang sangat sentral dan sarat nilai, yakni menyangkut pemahaman dan perlakuan terhadap kehidupan kejiwaan manusia. Sementara kita tahu, bahwa psikologi yang kita hadapi saat ini adalah psikologi Barat dengan segala muatan nilai-nilai kulturalnya. Berikut ini kita akan dicoba-kemukakan kritik teori psikologi atau kritik terhadap teori-teori psikologi, yang akan meliputi kritik empiris, kritik epistemologis, dan kritik ideologis. Kritik teori ini diharapkan dapat menyingkap cacat-cacat sistemik yang melekat pada (beberapa) teori psikologi. Dengan kritisisme ini, dan selanjutnya dengan tetap memelihara sikap arif, yakni tetap mengapresiasi dan memanfaatkan (apa yang kita anggap sebagai) kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam psikologi Barat tersebut, diharapkan akan memunculkan sikap progresif. Yang dimaksud dengan sikap progresif adalah keberanian melakukan upaya-upaya inisiasi untuk membangun paradigma atau teori-teori psikologi alternatif yang lebih sesuai dengan keyakinan akal dan jiwa sehat kita, yang diharapkan dapat memainkan peran besar dalam upaya menyehatkan dan memanusiawikan peradaban, dan yang integratif dengan pandangan ideologis kita. Kritik Empiris Teori adalah abstraksi yang bersifat umum dan formal dari hasil-hasil temuan lapangan. Dalam psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan generalisasi dari suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Suatu teori juga dibangun di atas landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali berbeda antara satu dan lain teori (Suriasumantri, 1984). Dengan demikian pada gilirannya kita bisa mempersoalkan apakah suatu teori mampu menjelaskan suatu kenyataan lapangan tertentu atau dapat berlaku dalam kenyataan lapangan dengan setting budaya yang berbeda dari budaya asal teori tersebut dirumuskan. Demikian juga terhadap konsep-konsep yang mendasari teori tersebut, dan metode penerapan teori tersebut. Untuk contoh kritik empiris ini dapat dikemukakan temuan antropolog Margaret Mead (1928) di masyarakat Samoa, yaitu bahwa anak-anak remaja Samoa ternyata tidak mengalami apa yang dikenal sebagai storm and stress dalam masa perkembangan mereka. Padahal konsep storm and stress yang merupakan hasil temuan pada anak-anak remaja di Amerika Serikat waktu itu dianggap sebagai konsep yang universal, berlaku di mana saja. Kultur di Samoa, rupanya berbeda dengan di Amerika, memungkinkan masa remaja – yang merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa – berlangsung secara mulus saja, tanpa storm and stress. Contoh lain adalah temuan antropolog Ruth Benedict, bahwa dorongan berkompetisi yang oleh para ahli psikologi semula dianggap sebagai insting, dus bersifat universal, ternyata juga sangat tergantung pada sistem kebudayaan. Pada masyarakat suku Indian Zuni ternyata tidak ditemukan adanya semangat kompetisi. Yang ada adalah semangat untuk selalu membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Di sana masyarakat tidak melihat perlunya bersaing untuk mengalahkan orang lain. Demikian juga pada suku Hopi, Arapesh, dan Pueblo. Contoh lain lagi adalah kritik empiris terhadap konsep-konsep psikoanalisa (Sigmund Freud) dan teori-teori yang mendasarkan diri pada konsep-konsep tersebut. Betapapun kaburnya konsep-konsep psikoanalisa tersebut, sejumlah ahli telah berhasil melakukan studi empirik yang dalam keseluruhan hasilnya ternyata menyangkal kebenaran konsep-konsep dan teori-teori itu. Branislav Malinowski (1927) tidak memperoleh bukti adanya apa yang dinamakan konflik oedipal di antara penduduk pulau Torbiand. Prothro (1961) dalam studinya terhadap praktik-praktik pendidikan anak di Libanon memperoleh bukti bahwa karakter anal sesungguhnya tak berhubungan dengan toilet training seperti yang diteorikan Freud. Dan, Victor E. Frankl (1964) lewat serangkaian penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa tak ada hubungan antara citra ayah positif dangan keyakinan agama seseorang dan sikapnya terhadap Tuhan. Kritik Epistemologis Epistemologi (filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan. Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap pandangan dunia (world view) ini menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa sumber-sumber pengetahuan; apa hakekat, jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang apakah memang dimungkinkan manusia memperoleh pengetahuan; dan kalau iya sampai pada tahap mana pengetahuan yang dapat ditangkap manusia (Sahakin & Sahakin, 1965). Tercakup di dalam epistemologi adalah pembahasan mengenai filsafat ilmu yang secara spesifik mengaji hakekat pengetahuan ilmiah. Karena semua pembahasan filsafati itu bersendikan logika, maka yang dimaksud dengan kritik epistemologis adalah pengujian apakah suatu teori mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri teori itu memiliki konsistensi logis atau tidak. Hal yang sama dilakukan terhadap konsep-konsep yang mendasari suatu teori. Berikut ini beberapa contohnya. Pandangan statistikal atau pendekatan grafik-kurva-normal adalah salah satu norma untuk menjawab pertanyaan: siapakah yang normal dan siapakah yang abnormal secara psikologis? Berdasarkan konsep ini disimpulkan bahwa orang-orang yang normal adalah orang-orang yang berperilaku psikologis sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Mereka, yang normal, adalah yang terkumpul di tengah grafik yang berbentuk lonceng itu. Pandangan seperti ini mengandung kesulitan logis, dikarenakan konsekuensinya kita harus menganggap orang-orang yang emosinya luar biasa stabil, misalnya, sebagai orang-orang abnormal, sama seperti orang-orang sub-normal yang mengalami gangguan emosional gawat atau orang-orang neurotik. Norma lain, dari sudut pandangan kultural, konsep keabnormalan jauh lebih kabur lagi. Ini disebabkan karena pandangan tersebut memberikan kewenangan menimbang kenormalan dan keabnormalan seseorang pada lingkungan sosio-kultural orang tersebut. Karena itu tingkah laku yang dianggap abnormal pada suatu masyarakat atau suatu kelompok tertentu, bisa saja dianggap normal jika orang itu pindah ke kelompok lain. Malik B. Badri (1986) memberi contoh sebuah adat istiadat Sudan (yang non-Islam) di daerah Gezira, di mana pada upacara-upacara perkawinan, pengatin pria mencambuki beberapa orang laki-laki, yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya, seolah dalam trance hipnotik. Sementara itu, para penonton wanita bersorak-sorai memberi semangat dan menikmati peristiwa yang dipandang sangat “normal” tersebut. Menyaksikan peristiwa itu, psikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin akan menganggap pengatin pria atau teman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap kelainan seksual. Si pengantin pria akan dicap sebagai seorang sadistik yang mendapatkan kenikmatan erotik dengan menyakiti orang lain, dan yang dicambuki adalah orang-orang masokhis yang terpuasi nafsu erotiknya dengan disakiti. Kritik Ideologis Kritik ideologis bertujuan menyingkap dan mengungkap segi-segi ideologis, nilai-nilai, pandangan-pandangan dasar tentang manusia dan semesta yang mendasari atau menyusup dalam suatu teori atau juga ikut membonceng dalam penerapan suatu teori. Anggapan bahwa ilmu tidak memberikan penilaian (evaluation), tapi hanya mau mengemukakan fakta apa adanya dengan cara objektif sebagaimana yang bisa disimpulkan dari suatu kumpulan data dan fakta empiris, telah disangkal keras oleh Gunnar Myrdal (1969). Dalam semua usaha ilmiah tidak bisa dihindarkan adanya suatu unsur apriori. Oleh sebab itu, unsur-unsur apriori yang berupa asumsi-asumsi dasar, faham-faham ideologis yang mendasari suatu teori hendaknya tidak disembunyikan, melainkan harus dirumuskan dengan jelas agar dapat secara terbuka didiskusikan. Jelaslah bahwa fakta-fakta tidak mengoganisir diri menjadi konsep-konsep dan teori-teori hanya karena diamati. Fakta-fakta dapat diorganisasi menjadi konsep atau teori hanya setelah diolah dengan menggunakan kerangka konseptual tertentu yang tentunya sudah ada dalam benak sang teoritisi atau dipilih secara apriori. Bahkan apa yang dinamakan fakta-fakta ilmiah pun hanya akan tampak jika dilihat dengan kerangka gagasan atau teori tertentu yang tentunya dipilih secara subjektif, dan tidak tampak kalau kita memakai kerangka gagasan atau teori yang lain. Bagi orang yang hanya percaya pada empirisme, misalnya, adalah berarti ia sudah berpihak kepada empirisme dan tidak pada intuisionalisme. Dus, sudah tidak netral lagi. Maka bagi seorang empiristik, objektivitas sudah diredusir maknanya menjadi kepastian empiris belaka (Myrdal,1969). Jadi, seorang psikolog yang memandang manusia sebagai seekor binatang materialistik yang bermotivasi tunggal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya “di sini dan saat ini” (here and now), dengan sendirinya – dalam hal ini, setidak-tidaknya -- berpandangan atheis. Manusia dianggap tidak memiliki jiwa, orientasi dan kerinduan terhadap hal-hal yang tinggi dan metafisis sifatnya. B.F. Skinner yang dengan tegar tidak mau mengakui adanya apa yang dimaksud dengan kehendak bebas (free will) dalam perilaku manusia, dan yang memandang manusia bagai mesin belaka (Hjelle & Ziegler, 1981), maka tentunya di dalam sistem psikologinya berkonsekuensi menonsenskan tanggung jawab manusia. Kenapa manusia harus bertanggung jawab jika ia tidak lebih dari mesin yang bertingkah laku semata atas dasar stimulus-respons? Sama pula dalam psikoanalisa Freud, pertanggungjawaban mustahil diminta karena manusia hanyalah binatang yang bergerak atas dorongan insting: eros dan thanatos. Memang, psikoanalisa tidak terlepas dari pandangan Freud bahwa konsep Tuhan tidak lain adalah sebuah delusi ciptaan manusia. Dan, Freud menyesali kenapa manusia masih menyembah apa yang dianggapnya sebagai ilusi palsu yang diciptakan karena kebutuhan-kebutuhan masa kecil. Begitulah, dalam pandangan psikologi tadi, manusia hanyalah sekedar makhluk psiko-fisikal-sosial belaka, tak ada jiwa atau ruh yang menautkan manusia dengan Tuhan. DAFTAR PUSTAKA: Badri, Malik B., Dilema Psikolog Muslim, (Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati), Jakarta: Penerbit Firdaus, 1986 Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J., Personality Theories: basic Assumtions, Research, and Aplications, Auckland: McGraw-Hill International Book Company, 1981 Myrdal, Gunnar, Objectivity in Social Research, New York: Pantheon Books, 1969 Sahakin, William S. & Sahakin, Mabel L., Realm of Philosophy, Cambridge: Schenkman, 1965 Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984
MERUMUSKAN KEBERISLAMAN SECARA BARU Audith M Turmudhi (Dimuat pada Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi “Prisma”, No. 3, Tahun XX, Jakarta: LP3ES, Maret 1991) Al-Qur’an secara desisif menempatkan manusia pada posisi yang sedemikian sentral dan terhormat dalam kancah kehidupan, yakni sebagai “wakil” dan “partner” Allah di muka bumi atau khalifatullah fi al-ardh. Itulah sebabnya umat Islam sudah seharusnya sadar akan tugas sejarahnya yaitu menciptakan tatanan dan kondisi kehidupan yang terus-menerus menjadi lebih baik bagi seluruh manusia, dan mewujudkan cita-cita Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Sejarah membuktikan bahwa umat Islam selalu terpanggil untuk tampil merespon perkembangan zaman, lebih-lebih lagi pada saat-saat yang krusial. Agaknya yang harus lebih disadari betul oleh umat Islam, adalah bahwa dunia umat manusia ternyata terus-menerus mengalami perubahan, beserta segala tantangannya. Pada masa hidup Al-Ghazali (450-550 H) misalnya, tantangan Islam yang maujud adalah konflik internal kaum muslimin yang sedemikian gawat, yakni antara sufisme yang sangat menekankan dimensi dlama-ir (esoteris) dan fiqh yang sangat menekankan dimensi zhawahir (eksoteris), juga antara sufisme dan ilmu kalam yang sangat menekankan argumen rasional. Pada masa itu, rumusan keberislaman yang disodorkan tokoh ini diakui berjasa besar dalam menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Sekarang tantangan Islam untuk sebagian besar bersifat baru sama sekali. Karena itu Islam harus tampil dalam sosok atau kemasan yang baru pula. Penekanan pada unsur kebaruan agaknya sangat diperlukan mengingat Islam telah mengalami kemacetan intelektual selama sekitar seribu tahun, sementara perubahan dunia, terutama dalam kurun waktu dua ratus tahun terakhir ini, berlangsung secara dahsyat oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana diketahui, revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja telah mengubah semua realitas fisik dan sosial, tapi juga mengubah persepsi dan pandangan kita tentang kehidupan. Kuatnya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengubah pandangan tentang kehidupan, telah menjadikannya mencapai posisi ideologi. Ilmu dan teknologi, kata Habermas, kini telah menjadi ideologi tersendiri yang mempunyai kekuatan untuk mendikte sejarah dan mentransformasikannya untuk kepentingannya sendiri. Islam adalah karunia dan rahmat Allah yang diperuntukkan bagi umat manusia (dan bukan sebaliknya), untuk membimbing umat manusia sepanjang zaman. Itu sebabnya Islam sangat berkepentingan terhadap seluruh realitas hidup umat manusia , baik dalam realitas subjektif (kesadaran, motif-motif dan sikap-sikap jiwa), realitas simbolis (ilmu dan seluruh konsep-konsep intelektual), maupun dalam realitas objektif (seluruh karya atau hasil pemikiran, baik berupa sistem-sistem sosial-ekonomi-politik-budaya yang kita bangun atau kita afirmasi, maupun berwujud barang-barang atau benda-benda yang kita hasilkan). Karena ketiga realitas tersebut senantiasa dalam perubahan, maka pembaruan keberislaman adalah keharusan sejarah yang terus-menerus. Berkaitan dengan itu, Al-Qur’an memberikan dua macam petunjuk: pertama, petunjuk tentang nilai-nilai kebenaran yang bersifat mutlak-eternal; kedua, petunjuk tentang bagaimana mengeksteriorisasikan nilai-nilai kebenaran tersebut dalam konteks ruang, waktu dan peristiwa tertentu, melalui contoh respon kongkret Qur’ani terhadap realitas sejarah. Jadi ada kebenaran yang eternal dan ada pula kebenaran yang temporal. Sedangkan tindakan nyata Nabi Muhammad SAW., dapat kita pandang sebagai contoh-contoh lebih detil lagi mengenai bagaimana eksteriorisasi atau penerjemahan nilai-nilai kebenaran eternal dalam konteks ruang dan waktu; sekaligus sebagai contoh sebaik-baiknya setelah Al-Qur’an sendiri. Dari situ sebenarnya umat Islam dapat merumuskan metodologi eksteriorisasi setelah terlebih dahulu merumuskan nilai-nilai kebenaran eternal Al-Qur’an dan memahami dengan baik struktur dan kondisi sosio-kultural masyarakat pada masa hidup Rasulullah. Dengan metodologi tersebut, proses eksteriorisasi di masa sekarang dan di masa mendatang akan berlangsung secara lebih terbimbing. Adapun hasil pemikiran para ulama, terutama karya-karya intelektual klasik yang merupakan hasil perumusan gemilang pada periode formatif Islam, yakni pada kurun waktu sekitar dua setengah abad setelah wafatnya Rasulullah, harus kita pandang sebagai warisan kultural Islam yang luar biasa berharga untuk kita dialogi, namun tidak untuk mendikte. Kita harus terus-menerus membangkitkan intelektualisme kita sendiri, karena hidup harus kita orientasikan ke masa kini dan ke masa depan, bukan ke masa lalu. Semangat atau nilai kebenaran eternal Al-Qur’an harus terus-menerus kita terjemahkan di dalam konteks zaman yang terus berkembang. Maka pembaruan, bukan saja diperlukan karena Islam telah mengalami degenerasi pada pasca periode formatif sebagai akibat pergaulan Islam dengan pelbagai budaya lokal dan pelbagai faham non-Islam, tetapi juga karena maturitas umat manusia secara keseluruhan oleh akumulasi pengalaman sejarahnya tentunya terus berkembang, juga karena perkembangan kompleksitas zaman. Dan umat Islam, sebagai umat yang meyakini kebenaran Al-Qur’an, tentulah harus selalu dapat menegakkan suatu leading Islamic civilization, sebagaimana telah terbukti pada masa-masa kejayaan umat Islam dahulu, bukan seperti kenyataan sekarang. Lemahnya posisi Islam di tengah peradaban dunia saat ini pastilah akibat kecelakaan sejarah atau pada dasarnya karena kesalahan umat Islam sendiri. Jadi seluruh produk historical Islam, harus sungguh-sungguh kita kritisi, karena status kebenarannya relatif. Bahkan juga terhadap apa yang kita persepsikan sebagai nilai-nilai kebenaran mutlak-eternal itu pun tetap harus kita buka kemungkinan kekeliruan dan kekuranglengkapannya. Problematika Global Dewasa ini umat manusia dihadapkan pada berbagai masalah global mondial yang luar biasa serius. Kondisi lingkungan hidup kita sudah sedemikian gawat mengancam keselamatan seluruh umat manusia – dengan jebolnya lapisan ozon di atas kutub selatan, naiknya permukaan air laut, turunnya hujan asam, memanasnya suhu udara dan mulai kacaunya iklim, dan lain-lain. Semua itu tidak lain sebagai akibat ulah manusia sendiri, yakni oleh filsafat materialisme dan ateisme yang menuntun pandangan masyarakat dunia, yang mendasari dan menyemangati ilmu, teknologi, industri, praktik bisnis dan seluruh pola hubungan eksploitatif, baik antar manusia maupun manusia dengan alam. Peradaban kita dewasa ini digerakkan oleh jiwa dan semangat yang penuh keserakarahan, kesombongan, egoisme, hedonisme dan ketidakpedulian akan kebutuhan dan kesusahan sesama manusia, alam dan kehidupan di masa depan. Disebutkan olah Erich Fromm, bahwa masyarakat moderen adalah masyarakat yang acquisitive, yakni masyarakat yang berorientasi dan bermodus eksistensi to have, penuh nafsu untuk memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi, tak puas-puasnya. Dalam masyarakat demikian, mendemonstrasikan kekuasaan dan kesuksesan material, merampas kesempatan dan hak-hak orang lain, menjadi pola-pola perilaku umum. Filsafat dan sikap jiwa tersebut adalah sumber dari pelbagai-bagai krisis: ekologi, sosial-budaya dan kemanusiaan. Alhasil, dalam zaman yang oleh Tillich disebut sebagai the age of anxiety ini, kebahagiaan makin jauh dari batin umat manusia. Padahal semangat yang sakit itu menebar ke mana-mana, berpusar keras di seluruh atmosfer kehidupan, tak terkecuali ke tengah-tengah masyarakat kita. Dengan demikian problematika keindonesiaan saat ini, untuk sebagian utamanya, dapat dilihat dalam perspektif problematika global umat manusia sebagaimana diterangkan di atas. Marjinalisasi dan penggusuran masyarakat kecil oleh kekuatan-kekuatan industrial, ketimpangan penguasaan sumber-sumber ekonomi dan ketidakadilan dalam distribusi hasil-hasil pembangunan sehingga terjadi keberlimpahan pada sekelompok anggota masyarakat di satu pihak dan kemiskinan rakyat banyak di pihak lain, tidak terlepas dari globalisasi semangat materialisme-individualisme. Kuatnya pemihakan kekuasaan pada kepentingan industrial, dan lemahnya pembelaan pada kebutuhan rakyat-kecil-banyak, yakni kaum tani, pedagang kecil, buruh, kaum pencari kerja – yang semua itu seakan-akan menjadi beyond help oleh sebab lemahnya kekuatan sipil dalam mengontrol kebijakan-kebijakan penguasa, akibat belum cukup dikembangkannya demokrasi politik di negeri ini – adalah buah yang wajar dari sistem ekonomi kapitalistik yang kita terapkan. Suatu sistem kapitalistik yang bukan saja dalam dirinya tidak berintikan moralitas kemanusiaan dan kebertuhanan, tetapi juga yang praktik-praktiknya belum cukup mengalami revisi sehingga masih sarat mengidap ciri-ciri kapitalisme dekaden abad lalu. Dalam istilah Yoshihara Kunio, kapitalisme kita adalah suatu ersatz capitalism, yaitu bertumbuhkembangnya kaum kapitalis bukan melalui mekanisme wajar, melainkan melalui patronase, perlindungan atau koneksi dengan kekuasaan. Keberislaman dalam Konteks Indonesia Kini Dengan konteks persoalan tersebut kiranya dinamika keberislaman yang sangat menggairahkan saat ini, arus utamanya harus kita arahkan pada hal-hal berikut: Pertama, umat Islam harus menghadapkan kesadarannya tidak semata kepada problem keindonesiaan saja, tetapi harus memperluas concern-nya kepada masalah global-mondial, dan tentu saja keterkaitan antara keduanya. Dengan begitu jawaban lokal kita pun, tetap berwawasan global. Berkaitan dengan ini, intelektualisme Islam Indonesia harus aktif menggabungkan diri dengan arus intelektualisme Islam Internasional. Kedua, upaya pencerdasan kehidupan umat Islam, haruslah lebih dipersungguh-sungguh. Umat Islam harus didorong untuk berjuang menguasai ilmu dan teknologi, serta menerjuni segala sektor kehidupan moderen, agar terkuasai seluruh idiomnya. Hanya dengan cara demikian umat Islam dapat memiliki power untuk memimpin peradaban. Tetapi berbarengan dengan ini, upaya Islamisasi dan atau penggalian ilmu-ilmu yang orisinal Islami haruslah dilakukan. Pembahasan mengenai rumusan sistem-sistem sosial, ekonomi dan politik yang Islami perlu dipertajam. Ini dikarenakan kita tidak hendak mengafirmasi dan melarutkan diri dengan semua idiom-modernitas, lebih-lebih lagi terhadap sistem sosial yang eksploitatif. Berbarengan dengan itu pula perlu dikembangkan kritisisme atas faham dan praktik keberislaman warisan masa lalu, dalam seluruh seginya. Dalam hal ini, kiranya pemikiran Islam kaum mu’tazilah sangat baik diintroduksikan di tengah-tengah masyarakat kita, untuk mendorong keberanian berpikir umat Islam. Begitulah, berpikir kritis sistematis, harus diarahkan sekaligus kepada kedua sumber ayat-ayat Allah, yakni kepada diri manusia dan alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan kepada Al-Qur’an (ayat-ayat kauliyah) dan dengan mendialogkan keduanya. Untuk itu semua, sungguhlah besar manfaat filsafat. Ketiga, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi munkar mutlak diperlukan untuk mendorong terciptanya masyarakat etis dan egaliter. Mengingat problem-problem sosial yang menyertai pembangunan dan perubahan sosial, maka amat penting para intelektual Islam lebih mempervokal advokasinya atas kelompok masyarakat lemah yang terkorbankan dalam proses pembangunan dengan memperkeras suara kritik terhadap budaya yang mendemoralisasi masyarakat dan bertentangan dengan hati nurani rakyat, dan dengan lebih memperkeras dorongan terhadap proses demokratisasi politik dan ekonomi, terutama dalam politik distribusi hasil-hasil pembangunan. Jika kepentingan masyarakat bawah dan aspirasi umat Islam dapat diartikulasikan secara vokal oleh para intelektual muslim yang berintegritas, maka pikiran tentang perlunya umat Islam kembali berpolitik formal atau kembali berpartai politik (misalnya dikaitkan dengan kemungkinan telah dekatnya kedatangan periode “pasca Orde Baru”) akan makin kehilangan relevansinya. Ini penting mengingat pada masa sekarang ini, berpartai-politik-Islam agaknya tetap lebih banyak menghasilkan kemudaratan daripada kemanfaatan bagi umat Islam. Dengan tidak berpartai politik, umat Islam dapat lebih cair memasuki berbagai kotak sosial karena Islam tidak tereduksi seakan identik dengan partai Islam, dan dapat lebih berkonsentrasi menggarap masalah-masalah yang lebih strategis, sehingga dapat lebih produktif untuk jangka panjang. Keempat, perlu dikembangkan teologi Islam yang memandang pentingnya dimensi tasawuf. Ini sangat penting, karena dua hal. Pertama, betapa berbahayanya akal kecerdasan, ilmu dan teknologi jika dinamikanya tidak didorong dan dibimbing oleh motif-motif rohani yang bersih. Kedua, pemikiran keagamaan kaum fuqaha yang memperlakukan agama lebih sebagai ‘hukum’ dan pemikiran kaum modernis yang mengembangkannya menjadi semacam ‘ideologi’, ternyata sama-sama kurang memperhatikan dimensi batin atau kedalaman, yang sesungguhnya menjadi inti keberagamaan. ---- &&&----
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM PERUBAHAN ORGANISASIONAL Audith M Turmudhi (Dosen STMIK-AMIKOM Yogyakarta) Dimuat di Jurnal “Manajerial” STMIK-AMIKOM Yogyakarta vol. 2, no. 2, September 2006 Abstract The fast changing of organizational environment -- which is driven by competition, economical, political, globalization, social-demographical, and ethical forces -- must be responded through appropriate organizational change. There are four targets of organizational change should be considered i.e. organizational structure, physical setting, technology, and people. And the constraints which are able to threat the success of change effort are organizational systems/power, the differences of functional orientation and mechanical organizational structure, cultural inertia, group norms/cohesiveness, also group think and individual obstacle. In order that organizational change runs successfully, the effort should be led by a strong, visionary, intelligent, and development-oriented leadership. Perubahan lingkungan organisasi – eksternal maupun internal – adalah suatu keniscayaan, dahulu maupun sekarang. Namun di masa sekarang, kecepatan dan intensitas perubahan lingkungan tersebut pada umumnya berlangsung begitu tinggi, penuh dinamika dan turbulensi. Bahkan, seringkali bersifat diskontinyu sehingga bukan saja menyulitkan, tetapi dapat mengancam keberlangsungan hidup suatu organisasi. Jelaslah, perubahan lingkungan (environmental change) akan mengakibatkan tekanan pada organisasi untuk melakukan perubahan organisasional (organizational change). Di tengah kuatnya arus perubahan lingkungan, tanpa perubahan diri secara tepat dan signifikan organisasi tersebut niscaya akan terseok, bahkan akan mati terlindas hukum besi perubahan. George dan Jones (2002) menyebutkan sejumlah faktor lingkungan eksternal yang mendorong perubahan, yakni kekuatan kompetisi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan globalisasi, kekuatan sosial-demografik, dan kekuatan etikal. Dewasa ini persaingan dalam dunia bisnis berlangsung semakin sengit. Dinamika ekonomi dan politik nasional, regional maupun global bergerak sangat fluktuatif dan penuh kejutan. Globalisasi ekonomi dan budaya yang dipicu oleh perkembangan pesat teknologi informasi dan transportasi telah menyebabkan dunia ini bagaikan desa global (global village). Perubahan struktur demografik dan sosial berlangsung secara sangat signifikan. Dan di tengah semua itu mencuat pula di sana-sini kesadaran etik masyarakat yang menuntut ditegakkannya perilaku etis dalam dunia kerja, bisnis, dan politik. Sementara, pada lingkungan internal organisasi, perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, etos kerja, kompetensi maupun aspirasi karyawan juga mengharuskan respons organisasional yang tepat. Makin tingginya tingkat pendidikan rata-rata karyawan, misalnya, akan menyebabkan meningkatnya aspirasi dan tuntutan mereka dalam bekerja. Mereka pada umumnya mengharapkan perlakuan kerja yang lebih manusiawi, peluang aktualisasi diri yang lebih besar, suasana kerja yang lebih menyenangkan, cara kerja yang lebih fleksibel, pemberian reward yang lebih adil dan lebih motivatif, kesempatan karir yang lebih terbuka, dan sebagainya. Hambatan-hambatan Perubahan Namun, perubahan organisasional bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ada banyak kendala yang bisa menghadang dan memacetkan program-program perubahan. Sejumlah kendala yang ditengarai oleh George dan Jones (2002:645-646) adalah: (1) kendala-kendala sistem keorganisasian dan kekuasaan, (2) perbedaan-perbedaan dalam orientasi fungsional dan struktur organisasi yang mekanistik, (3) kelembaman (inertia) kultur organisasi, (4) norma dan kohesivitas kelompok, (5) pemikiran kelompok (group think) dan kendala-kendala individual, seperti ketidaksiapan yang mengakibatkan rasa ketidakpastian, kekhawatiran, ketidakamanan, persepsi selektif, dan retensi kebiasaan. Mekanisme yang telah tertanam untuk menghasilkan kemantapan dalam beroperasinya suatu organisasi -- yang diberlakukan dalam sistem seleksi karyawan, sistem pelatihan, sistem penilaian kinerja, sistem reward dan punishment, sistem informasi, sistem keuangan, sistem pengambilan keputusan, dan lain-lain -- akan menghasilkan suatu inertia ketika menghadapi perubahan. Pola hubungan-hubungan kekuasaan yang telah mapan dan mendatangkan sejumlah privileges bagi para pelakunya juga dapat menghambat upaya perubahan yang mengarah pada redistribusi wewenang pengambilan keputusan. Para manajer dan supervisor yang menikmati kewenangan yang luas mungkin merasa terancam dengan akan diberlakukannya sistem pengambilan keputusan partisipatif atau diterapkannya tim kerja swakelola. Orientasi fungsional yang berbeda pada tiap-tiap departemen atau bagian organisasi juga dapat mempersulit terbangunnya kesamaan visi perubahan. Sebagai contoh, departemen keuangan yang lebih berorientasi pada efisiensi biaya mungkin akan menolak ide perubahan teknologi yang diusulkan departemen produksi yang ingin mengejar kuantitas dan kualitas poduksi yang lebih tinggi yang akan berakibat pada meroketnya anggaran. Contoh lain, usulan perubahan desain produk oleh departemen pemasaran berdasarkan hasil riset pasar, bisa jadi kurang direspons positif oleh departemen produksi jika dirasa hanya akan menimbulkan kerepotan dalam proses produksi. Begitulah, masing-masing departemen atau divisi cenderung mengedepankan kepentingan atau mission diri sendiri. Validitas gagasan perubahan akan dinilai pertama-tama dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Biasanya, egoisme departemental atau divisional tersebut tumbuh subur dalam struktur organisasi yang mekanistik. Budaya organisasi, sebagaimana disebutkan hampir 60 tahun yang lalu oleh Selznick (1948), merupakan variabel independen yang sangat memengaruhi perilaku karyawan. Nilai-nilai yang sudah terlembagakan melalui praktik perilaku organisasional dalam kurun waktu yang cukup lama akan menjadi panduan otomatis perilaku para karyawan. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat, yakni yang ditandai dengan dipegang dan dianutnya nilai-nilai inti organisasi secara intensif dan secara luas oleh anggota organisasi tersebut (Wiener, 1988), akan menyulitkan suatu perubahan organisasional yang menuntut berubahnya nilai-nilai inti tersebut. Dengan demikian, suatu organisasi yang sudah berpuluhtahun mempraktikkan nilai-nilai budaya korup, etos kerja medioker atau bahkan minimalis, dan business ethics yang rendah sudah barangtentu tidak mudah untuk berubah menjadi organisasi yang berbudaya etis, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, beretoskerja tinggi, dan berorientasi pada keunggulan. Kelompok-kelompok kerja, formal maupun non-formal juga dapat menjadi penghalang upaya perubahan. Individu-individu yang ingin mengubah perilaku kerjanya besar kemungkinan akan dihambat oleh norma kelompok yang tidak sejalan. Tekanan kelompok dapat mengerem usaha-usaha individual maupun program perubahan organisasional. Kelompok-kelompok dengan kohesivitas tinggi yang merasa terancam akan kehilangan kenyamanannya atas penguasaan suatu sumber daya organisasi mungkin akan melakukan perlawanan. Kebiasaan berpikir para pimpinan dan segenap karyawan dalam menganalisis situasi dan merespons masalah dapat memerangkap mereka dalam pola-pola pikir konvensional-organisasional (group think). Hal itu akan cenderung menghalangi munculnya pemikiran segar yang diperlukan untuk perubahan. Dalam keadaan demikian, penglihatan masalah dari sudut pandang yang berbeda dan pengajuan alternatif solusi yang sama sekali lain, sulit muncul. Gagasan-gagasan baru, darimanapun datangnya, cenderung dicurigai. Akhirnya, hambatan perubahan juga sering muncul dari keengganan individual yang berasal dari faktor kebiasaan, ketidaksiapan, terusiknya rasa aman, kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan dan bertambahnya kerepotan, ketakutan terhadap hal-hal yang belum dikenali, dan persepsi negatif yang berasal dari informasi mengenai kegagalan-kegagalan upaya perubahan. Bidang Sasaran Perubahan Pada dasarnya ada empat bidang organisasional yang bisa menjadi sasaran perubahan, yaitu struktur organisasi, teknologi, setting fisik, dan sumber daya manusia (Robertson et. al., 1993). Hal-hal yang bersifat struktural seperti pembagian kerja, sistem-sistem operasi, rentang kendali, dan desain organisasi jika dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dapat diubah. Dapat dipertimbangkan perlunya dilakukan perubahan uraian pekerjaan (job description), pengayaan pekerjaan (job enrichment), pelenturan jam kerja, dan penerapan sistem imbalan yang lebih berbasis kinerja atau profit sharing. Tanggungjawab departemental dapat digabung demi keefektifan dan efisiensi. Beberapa lapisan vertikal dapat dihilangkan dan rentang kendali diperlebar demi mengurangi birokratisasi dan menambah daya responsi organisasi terhadap dinamika lingkungan. Aturan-aturan/prosedur yang dirasa menghambat kinerja bisa dipangkas, diganti dengan aturan-aturan/prosedur yang diperlukan untuk meningkatkan standardisasi. Proses pengambilan keputusan juga dapat dipercepat dengan meningkatkan desentralisasi. Bahkan, jika desain organisasi dengan struktur sederhana (simple structure) dinilai tidak lagi memadai, perlu dipertimbangkan memodifikasinya menjadi stuktur matriks, struktur tim, atau bentuk lainnya. Mengubah teknologi seringkali diperlukan demi efektivitas kerja karyawan dan peningkatan kinerja organisasi. Perubahan teknologis biasanya meliputi mesin-mesin, peralatan kerja, metode kerja, dan yang paling mencolok dewasa ini adalah otomatisasi atau komputerisasi. Otomatisasi menggantikan orang dengan mesin yang dapat bekerja lebih cepat, lebih akurat dan lebih murah. Sistem informasi yang canggih memudahkan pengelolaan dan pemanfaatan informasi secara menakjubkan. Mengenai perubahan setting fisik, bukti empirik menunjukkan bahwa memang tidak sertamerta hal itu berdampak besar pada kinerja individu maupun organisasi (Steele, 1986). Meskipun demikian, setting fisik tertentu terbukti dapat membantu atau merintangi karyawan-karyawan tertentu dalam berkinerja, sehingga dengan mengubahnya secara tepat kinerja karyawan dan organisasi dapat ditingkatkan (Porras dan Robertson, 1992). Tata letak ruang kerja dan peralatan serta desain interior yang dirancang dengan baik akan membantu membangun suasana dan keefektifan kerja. Karyawan akan mudah saling berkomunikasi dalam ruang kantor dengan desain terbuka, tanpa sekat-sekat dan dinding. Kenyamanan untuk produktivitas kerja juga dipengaruhi oleh intensitas pencahayaan, suhu ruangan, kebisingan, kebersihan, dekorasi maupun warna dinding. Akhirnya, bidang sasaran perubahan yang paling crucial adalah sumber daya manusia (SDM), baik secara individual, kelompok maupun keseluruhan anggota organisasi. Sebagai asset terpenting dan faktor kunci keberhasilan suatu organisasi, SDM perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih khusus. Perubahan SDM bisa terjadi meliputi penggantian orang (turnover), mutasi, promosi, demosi; perubahan sikap, motivasi, dan perilaku kerja; peningkatan pengetahuan dan ketrampilan kerja; dan perubahan nilai-nilai budaya organisasional yang menjadi dasar acuan perilaku segenap anggota organisasi. Kepemimpinan yang Diperlukan untuk Perubahan Mengingat pentingnya upaya perubahan organisasional di tengah lingkungan yang berubah cepat dan bahkan acapkali bersifat diskontinyu, dan mengingat strategis dan krusialnya bidang-bidang sasaran perubahan serta kompleksnya faktor-faktor yang dapat merintangi upaya perubahan, maka perubahan organisasional seringkali tidak dapat dibiarkan terjadi secara “alamiah” saja. Perubahan seringkali perlu dirancang, direkayasa dan dikelola oleh suatu kepemimpinan yang kuat, visioner, cerdas, dan berorientasi pengembangan -- sebagai agen perubahan. Perubahan memerlukan kepemimpinan yang kuat dari segi otoritas yang dimilki maupun dari segi kepribadian dan komitmen karena memimpin perubahan dengan segala kompleksitas permasalahan dan hambatannya memerlukan power, keyakinan, kepercayaan diri, dan keterlibatan diri yang ekstra. Seperti yang disebutkan oleh Zaleznik (1986), seorang pemimpin tidak boleh bersikap impersonal, apalagi pasif terhadap tujuan-tujuan organisasi, melainkan harus mengambil sikap pribadi dan aktif. Dengan begitu ia tidak akan mudah patah oleh hambatan dan perlawanan. Ia justru akan bergairah menghadapi tantangan perubahan yang dipandangnya sebagai batu ujian kepemimpinannya (Maxwell, 1995). Pemimpin perubahan juga harus visioner karena ia harus sanggup melihat cukup jauh ke depan ke arah mana kapal organisasi harus bergerak. Kotter (1990) menyebutkan bahwa memimpin perubahan harus dimulai dengan menetapkan arah setelah mengembangkan suatu visi tentang masa depan, dan kemudian menyatukan langkah orang-orang dengan mengomunikasikan penglihatannya dan mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan. Semua itu dilakukan tanpa harus bersikap otoriter. Namun, meskipun ia mengundang partisipasi pemikiran dari anggota, tongkat kepemimpinan tetaplah berada di tangannya. Kecerdasan juga sangat diperlukan untuk kepemimpinan perubahan. Tanpa kecerdasan yang baik, ia akan mudah terombang-ambing dalam kebingungan. Kecerdasan sangat diperlukan karena pemimpin harus pandai memilih strategi dan menetapkan program-program perubahan dan mengilhami teknik-teknik pengatasan masalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi organisasional yang ada berserta dinamikanya. Kecerdasan yang diperlukan dalam hal ini adalah kecerdasan yang multi-dimensional, yang pada intinya meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Dengan kecerdasan intelektual berarti ia memiliki pengetahuan, wawasan, dan kreativitas berpikir yang diperlukan. Dengan kecerdasan emosional berarti ia pandai mengelola emosi diri maupun emosi orang lain, sehingga proses perubahan dapat berjalan efektif (Cooper dan Sawaf, 1997). Dan dengan kecerdasan spiritual berarti ia memiliki kesadaran etis yang tinggi sehingga tujuan perubahan tidak semata demi peningkatan efektivitas organisasi namun juga demi tertunaikannya tanggungjawab moral dan etik (moral & ethical responsibility) kepada semua stakes-holders (Hendricks dan Ludeman, 2003). Sebagai syarat keempat, yang lebih spesifik untuk kepemimpinan di tengah dunia yang berubah, adalah perilaku kepemimpinan yang berorientasi pengembangan, yaitu kepemimpinan yang menghargai eksperimentasi, mengusahakan munculnya gagasan-gagasan baru, dan menimbulkan serta melaksanakan perubahan (Ekvall dan Avronen, 1991). Pemimpin demikian akan mendorong ditemukannya cara-cara baru untuk menyelesaikan urusan, melahirkan pendekatan baru terhadap masalah, dan mendorong anggota untuk memulai kegiatan baru. Begitulah, di tengah gencarnya perubahan lingkungan, tanpa upaya perubahan organisasional yang tepat di bawah kepemimpinan yang kuat, visioner, cerdas, dan berorientasi pengembangan, suatu organisasi akan berjalan terseok, bahkan mungkin akan mati didera kuatnya arus perubahan. ***** DAFTAR PUSTAKA Cooper, Robert K. dan Sawaf, Ayman, Excecutive EQ: Emotional Intelligence in Leadership & Organization, New York: Grosset/Puttnam, 1997. Ekvall, G. dan Arvonen, J. “Change-Centered Leadership: An Extension of the Two-Dimensional Model,” Scandinavian Journal of Management, Vol. 7, No. 1 (1991). George, Jenifer M., Gareth R Jones, Organizational Behavior, 3rd edition, Prentice Hall International Incorporation, New Jersey, 2002. Hendricks, Gay dan Ludeman, Kate, The Corporate Mystic (terjemahan), Bandung: Kaifa, 2003 Kotter, J. P., A Force for Change: How Leadership Differs from Management, New York: Free Press, 1990. Maxwell, John C., Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda (terjemahan), Jakarta: Binarupa Aksara, 1995. Porras, J. I. dan Robertson, P. J., “Organizational Development: Theory, Practice, and Research,” dalam M.D. Dunnette dan L.M. Hough (ed.), Handbook of Industrial & Organizational Psychology, ed. ke-2, Vol. 3 (Palo Alto: Consulting Psychologist Press, 1992). Robertson, P. J., Roberts, D. R., dan Porras, J. I., “Dynamics of Planned Organizational Change: Assessing Empirical Support for a Theoretical Model,” Academy of Management Journal (Juni 1993). Selznick, P., “Foundation of the Theory of Organizations”, American Sociological Review (Februari 1948). Steele, F., Making and Managing High-Quality Workplaces: An Organizational Ecology, New York: Teachers College Press, 1986. Wiener, Y., “Forms of Values Systems: A Focus on Organizational Effectiveness and Cultural Change and Maintenance”, Academy of Management Review (Oktober 1988). Zaleznik, A., “Excerpts from Managers and Leaders: Are They Different?”, Harvard Business Review (Mei-Juni 1986).