ASPEK RELIGIUSITAS DALAM KEHIDUPAN PERKAWINAN

Oleh Audith M Turmudhi (Disampaikan pada Seminar Konseling Perkawinan Program Pendidikan Sarjana, di Fakultas Psikologi UGM, 1985. Terima kasih banyak kepada Bung Mahyudin Al-Mudra yang begitu setia menyimpan paper “tua” saya ini sehingga sekarang, Desember 2009, saya dapat men-share untuk publik yang lebih luas)

I. PENDAHULUAN

Setiap pasangan pria wanita yang memasuki kehidupan perkawinan tentu mengharapkan kebahagiaan dan kelanggengan perkawinannya itu. Mereka mengharapkan terciptanya situasi dan kondisi yang fasilitatif untuk tercapainya aspirasi-aspirasi hidup mereka. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua keluarga barhasil mencapai harapan-harapan itu. Banyak pasangan suami isteri yang terus menerus dibuntuti perasaan jengkel, frustasi karena merasa suami atau isterinya selalu saja bergerak ke arah yang lain dari yang dikehendakinya. Pendek kata, banyak pasangan yang merasakan pasangannya sebagai bukan partner yang cocok untuk bersama-sama mengelola “organisasi” keluarga itu secara efisien dan efektif, selaras dengan tujuan-tujuan hidup mereka.

Meskipun disadari oleh suami isteri akan pentingnya usaha “peleburan” dua pribadi itu dalam kehidupan perkawinan mereka, akan tetapi bagaimanapun juga mereka tetap merupakan dua pribadi dengan keunikannya masing-masing, dengan individual differences-nya. Latar belakang kehidupan masing-masing, pengalamannya, pandangan hidupnya, aspirasi-aspirasi hidupnya, nilai-nilai hidupnya, selera-seleranya, kebiasaan-kebiasaannya bisa cukup berbeda. Perbedaan itu bisa menjadi sumber konflik yang membuat tidak efisien dan tidak efektifnya mekanisme pengelolaan keluarga tersebut, dan bahkan bisa mengancam keberlangsungannya. Oleh sebab itu ada semacam prinsip: semakin tinggi tingkat kesamaan pasangan suami isteri akan semakin mudah usaha saling menyesuaikan diri mereka, dan makin baik jadinya.

Demikianlah maka kesamaan agama, misalnya, dipandang sebagai prasyarat penting untuk dapat tercapainya kebahagiaan kehidupan perkawinan. Akan tetapi kenyataan juga menunjukkan bahwa kesamaan agama tidak serta-merta menjamin adanya kesamaan nilai dalam memandang hidup, dan oleh karenanya juga perilaku hidupnya. Paper ini hendak mencoba menelusur jauh ke bawah dari sekedar permukaan kesamaan formal agama. Paper ini ingin melihat bagaimana aspek religiusitas atau nilai-nilai religius mengambil peran sangat penting dalam kehidupan perkawinan.

II. NILAI DAN MANUSIA

Peter A. Facione, Donald Scherer & Thomas Attig dalam buku mereka “Values and Society”1), menerangkan secara panjang lebar bagaimana peranan nilai dalam kehidupan manusia, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Dikatakan oleh mereka bahwa setiap hari manusia selalu melakukan penilaian-penilaian, pertimbangan-pertimbangan, dan keputusan-keputusan. Diantara yang paling umum dan paling penting dalam kehidupan manusia adalah melakukan keputusan-keputusan tentang “tujuan-tujuan”, pertimbangan-pertimbangan tentang “cara-cara pencapaiannya” dan “terminal-terminal yang hendak dilaluinya”, serta penilaian-penilaian tentang “apa yang seharusnya dilakukan”. Dalam kegiatan itu nilai sangat berperanan dalam mengarahkan tindakan-tindakan, serta membuka penglihatan kepada luas cakupan permasalahan yang dihadapinya.

Berbagai penelitian mengukuhkan pendapat bahwa nilai yang dimiliki seseorang merupakan faktor utama yang memengaruhi sikapnya, dan memainkan peranan yang dasariah dalam mengarahkan motivasi dan mengintegrasikan kepribadian.2)

Dalam kehidupan perkawinan – seperti yang diungkapkan oleh Clore & Byrne3) – semakin tinggi kesamaan nilai kedua orang suami isteri maka semakin kuat pula perasaan positif satu terhadap yang lain, dan afek positif itu akan melicinkan proses saling manyesuaikan dalam kehidupan perkawinan mereka.

III. RELIGIUSITAS DAN AGAMA

Melihat dengan cermat apakah sesungguhnya pasangan suami isteri memiliki nilai-nilai religius yang setara atau tidak (dan bukan sekedar apakah agamanya sama atau tidak) akan banyak menolong pemberian penjelasan kenapa suami isteri yang sama agamanya ternyata seringkali sikap hidupnya, perilaku operasional kesehariannya bisa sangat berbeda. Bisa jadi yang satu lebih egoistik, sementara yang lain lebih altruistik. Bisa jadi yang satu lebih berorientasi pada pengejaran hal-hal yang maknawi, sementara yang lain lebih suka praktis-pragmatis-materialistis. Perbedaan itu bisa sedemikian dahsyat sehingga secara serius bisa mengancam keberlangsungan perkawinan. Memang sangat berbeda antara orang yang menganut agama sekedar untuk kepantasan sosial, menjalankan upacara-upacara agama sekedar untuk kelegaan diri bahwa ia merasa sudah menjalankan perintah Tuhan, dengan orang yang beragama berdasarkan pemahaman dan kesadaran penuh, yang menjalankan upacara-upacara agama dengan penuh penghayatan sebagai upaya untuk terus menerus menyegarkan dan mengukuhkan kesadaran dan komitmennya pada Tuhan akan tugas-tugas hidupnya di muka bumi ini. Rajin menjalankan ritus agama tidak serta-merta menjamin pemahaman dan kesungguhan komitmennya pada nilai-nilai dasar agamanya.

Tentu saja banyak juga orang yang beragama sekaligus religius. Seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religius juga. Tapi soalnya banyak juga orang yang menganut suatu agama karena motivasi jaminan materiil, karir politik, memperoleh jodoh, basa-basi sosial, semata karena keturunan dan tidak lagi melihat apa “raison de etre” agamanya, atau pokoknya cukup beragama secara “statistik” saja.

Diterangkan oleh Y.B. Mangunwijaya4) bahwa agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab. Dengan kata lain, agama lebih menunjuk pada “huruf”, atau “badan”, atau kerangka formal. Sedangkan religiusitas lebih menunjuk kepada “roh”, pada esensi. Religiusitas lebih melihat pada aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Oleh sebab itu, religiusitas secara esensial sangat erat hubungannya dengan perikemanusiaan. Seorang religius senantiasa digoda oleh pertanyaan-pertanyaan dasar: dari mana datangku dan dunia semesta ini? Ke mana aku hendak pergi, dan melalui jalan mana dan bagaimana? Siapakah yang sesungguhnya seharusnya menjadi sandaran eksistensiku, memberikan makna bagi kehadiranku di muka bumi ini?

Dengan demikian seorang religius dalam hidupnya tidak mau dan selalu waspada untuk tidak diombang-ambingkan oleh kesemuan-kesemuan. Ia lebih suka mengejar apa yang maknawi, apa yang substantif, dan bukan sekedar mengejar kepuasan-kepuasan sensual-hedonistik belaka, bukan pula sekedar mengejar formalitas. Ia lebih mendahulukan sikap bertanya apa yang bisa diberikan untuk kehidupan ini, dan bukan dipenuhi oleh pikiran-pikiran tentang apa yang bisa diperoleh (duniawi) pada setiap kesempatan. Maka wajar saja jika seorang religius tindak lakunya lebih bersifat altruistik dan bukannya egoistik, lebih tulus dan bukannya penuh pamrih.

IV. PENUTUP

Dengan demikian nampaklah betapa pentingnya pemuda pemudi yang hendak melangkah ke perkawinan untuk terlebih dahulu saling mengeksplorasi nilai-nilai religiusitas yang dimiliki masing-masing, dan bukan sekedar melihat kesamaan formal agamanya, bukan pula sekedar melihat ketekunan kwantitatif menjalankan ritus-ritus agamanya. Untuk itu sikap keterbukaan, dialog yang intensif-ekstensif sangat dibutuhkan. Demikian juga bagi pasangan suami isteri, kemampuan merumuskan apa yang menjadi nilai-nilai dasar hidupnya, mengomunikasikan dengan bahasa yang jelas jernih pada partnernya, dengan argumentasi yang baik (bukan rasionalisasi, misalnya), dengan cara yang arif bijaksana, cukup toleransi, dengan sikap rendah hati: sama-sama sedang berusaha terus-menerus lebih mendekati kebenaran, meningkatkan kebaikan bersama. Untuk semua itu modal dasar yang sangat dibutuhkan adalah perasaan cinta yang sejati5): ingin menumbuhkan partnernya, bukan menguasai dan mengeksploitasi.

CATATAN:

1) Values and Society; an introduction to ethics and social philosophy, Prentice-Hall, Inc, 1978.

2) Rokeach, M (Ed.), The Nature of Human Values, New York: The Prev Press, 1973. Bisa juga dibaca pada Fishbein, M & E.W. Burgess, Successful Marriage, Garden City, New York: Doubleday and Company, 1963.

3) Clore, G & D. Byrne, A Reinforcement-Affect Model of Attraction :143-170 dalam T.L. Huston (Ed.), Foundations of Interpersonal Attraction, New York: Academic Press, 1974.

4) Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Sinar Harapan, 1982.

5) Uraian tentang jenis-jenis cinta secara amat mengesankan bisa dibaca pada Erich Fromm, The Art of Loving, Parenial Library, 1974.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

<$BlogItemCreate$>